Oligarki, Banjir Bandang, dan Negara yang Membiarkan Rakyat Tenggelam
Hujan deras kembali turun di berbagai wilayah Indonesia. Televisi menayangkan gambar yang sudah akrab di mata publik: rumah hanyut, jembatan roboh, anak-anak menangis di tenda pengungsian, dan aparat sibuk mengevakuasi jenazah. Berita itu selalu sama dari tahun ke tahun. Namun, yang jarang disentuh oleh media arus utama adalah pertanyaan mendasar: mengapa banjir bandang dan tanah longsor terus berulang?
Apakah ini murni bencana alam, atau ada tangan-tangan manusia yang turut memperbesar dampaknya?
Di balik banjir dan longsor, tersimpan cerita tentang negara yang terlalu permisif terhadap oligarki bisnis. Negara yang seolah lebih setia menjaga keuntungan segelintir elite daripada keselamatan warganya.
Hutan Hilang, Air Mengamuk
Indonesia dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia. Namun, sejak awal 2000-an, deforestasi merajalela. Menurut data Global Forest Watch (2023), Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar hutan primer sejak 2002. Sebagian besar alih fungsi itu untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang.
Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai "spons alam" untuk menyerap air hujan kini berubah menjadi hamparan sawit. Rawa gambut dikeringkan, bukit-bukit dikupas, bahkan kawasan konservasi diutak-atik. Akibatnya, air hujan tak lagi tertahan di hulu. Ia meluncur deras ke sungai, meluap, lalu menghantam pemukiman.
Seorang warga di Kalimantan Barat pernah berkata dalam wawancara dengan Mongabay (2021): "Dulu banjir setinggi lutut hanya datang sepuluh tahun sekali. Sekarang, hampir tiap tahun kami kebanjiran sampai atap rumah."
Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan akibat langsung dari keputusan politik-ekonomi yang membuka ruang besar bagi oligarki bisnis sawit dan tambang.
Negara yang Permisif
Jika ditelisik, sebenarnya regulasi lingkungan Indonesia cukup lengkap. Ada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada juga aturan tata ruang, hingga instrumen AMDAL. Namun, mengapa kerusakan lingkungan terus meluas?
Jawabannya sederhana: penegakan hukum lemah, kompromi politik kuat.
Banyak kasus menunjukkan bagaimana perusahaan besar lolos dari jerat hukum meski terbukti merusak hutan dan sungai. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2016) bahkan pernah mengungkap adanya lebih dari 3 juta hektar perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan. Namun, berapa banyak perusahaan yang benar-benar dihukum? Sangat sedikit.
Kondisi ini memperlihatkan apa yang disebut para ilmuwan politik sebagai state capture---ketika kebijakan publik lebih banyak mengabdi pada kepentingan oligarki ketimbang kepentingan rakyat luas. Negara bukan sepenuhnya "menyerah", melainkan secara sadar permisif, bahkan melayani oligarki.
Rakyat: Korban Ganda
Siapa yang paling menderita akibat hubungan mesra negara-oligarki ini? Tentu saja rakyat kecil.
Pertama, mereka kehilangan ruang hidup. Lahan pertanian berubah jadi sawit, hutan tempat mereka mencari hasil bumi hilang, dan sumber air tercemar limbah.
Kedua, mereka kehilangan keselamatan. Setiap musim hujan, rumah mereka diterjang banjir bandang atau tertimbun longsor. Ironisnya, pemerintah sering menyebutnya sebagai "bencana alam" seolah-olah tanpa kaitan dengan kebijakan yang membiarkan hutan rusak.
Menurut catatan BNPB (2024), sepanjang tahun lalu terjadi lebih dari 3.000 bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, puting beliung), dan lebih dari 90% penyebabnya berkaitan dengan kerusakan lingkungan.
Oligarki dan Narasi Palsu
Setiap kali bencana terjadi, narasi yang muncul hampir selalu sama:
*Hujan ekstrem.
*Curah hujan di atas normal.
*Perubahan iklim global.
Semua itu benar adanya, tapi tidak lengkap. Curah hujan ekstrem memang faktor pemicu, tapi bukan penyebab utama. Penyebab utama adalah hutan yang hilang dan tanah yang tak lagi mampu menahan air.
Namun, narasi ini sengaja dipelihara. Sebab jika publik sadar bahwa bencana ini adalah hasil dari pilihan politik-ekonomi negara yang tunduk pada oligarki, maka kemarahan rakyat bisa berbalik menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan korporasi.
Inilah yang membuat bencana ekologis di Indonesia tidak pernah selesai: kebenaran ditutupi, oligarki dilindungi, rakyat ditinggalkan.
Konsekuensi Jangka Panjang
Jika pola ini dibiarkan, konsekuensinya sangat serius bagi masa depan Indonesia:
1.Ekologi runtuh. Hutan dan tanah kehilangan daya dukung, air bersih semakin langka, biodiversitas punah.
2.Ekonomi rapuh. Sawit dan tambang mungkin menghasilkan devisa, tapi biaya bencana jauh lebih mahal---baik dari kerusakan infrastruktur maupun nyawa manusia.
3.Sosial-politik terguncang. Ketidakadilan lingkungan melahirkan konflik agraria, protes warga, bahkan potensi disintegrasi sosial.
4.Negara kehilangan legitimasi. Rakyat akan melihat pemerintah sebagai pelayan oligarki, bukan pelindung warga.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertanyaannya: apakah Indonesia masih bisa keluar dari jerat oligarki ekologis ini? Jawabannya: bisa, tapi butuh keberanian politik.
Beberapa langkah yang perlu diambil:
1.Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap perusahaan perusak lingkungan.
2.Moratorium pembukaan hutan baru, khususnya untuk sawit dan tambang.
3.Transparansi data izin lahan agar publik bisa mengawasi.
4.Kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up: pemerintah pusat menggunakan teknologi modern, sementara desa dan masyarakat lokal dilibatkan dalam pengawasan.
5.Pendidikan literasi ekologis agar rakyat sadar bahwa bencana bukan takdir, melainkan hasil pilihan politik.
Penutup: Negara untuk Siapa?
Setiap kali televisi menyiarkan banjir bandang, kita seakan menonton film lama yang diputar ulang. Kisahnya sama, hanya lokasi dan korbannya berbeda. Di balik layar, oligarki tetap meraup untung, negara tetap permisif, dan rakyat tetap jadi korban.
Pertanyaan mendasarnya: apakah negara ini ada untuk melayani rakyat, atau untuk menjaga kepentingan oligarki?
Selama pertanyaan ini tidak dijawab dengan keberanian politik, maka jangan heran bila banjir bandang dan longsor akan terus menjadi berita rutin. Indonesia bukan tenggelam karena hujan, melainkan karena politik yang berpihak pada oligarki, bukan rakyat.
Referensi
*Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2024). Laporan Tahunan Bencana Indonesia.
*Global Forest Watch. (2023). Indonesia Deforestation Data.
*Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2016). Kajian Sistem Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit.
*Mongabay Indonesia. (2021--2024). Laporan investigasi deforestasi dan dampak ekologis.
*World Resources Institute (WRI). (2022). Forest Loss and Climate Change in Indonesia.
Disclaimer
Tulisan ini merupakan opini berbasis analisis data dan literatur yang tersedia. Interpretasi yang disajikan bersifat independen dan tidak mewakili institusi manapun. Pembaca diharapkan tetap melakukan verifikasi terhadap sumber-sumber resmi sebelum mengambil kesimpulan lebih lanjut.
Tagar
#Oligarki #LingkunganHidup #BanjirBandang #IndonesiaKrisisEkologis #NegaraVsRakyat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI