-------
Pagi itu, halaman SMAN 1 Cimarga, Lebak, mendadak hening. Ratusan siswa duduk bersila, sebagian menunduk, sebagian memegang poster bertuliskan "Kami Butuh Keadilan".
Mereka mogok belajar. Alasannya: kepala sekolah menampar seorang siswa yang ketahuan merokok di area sekolah.
Tamparan itu berujung panjang --- orang tua melapor ke polisi, kepala sekolah dinonaktifkan, dan sekolah seketika berubah menjadi ruang krisis moral.
Di tengah gegap-gempita berita, muncul pertanyaan yang lebih dalam dari sekadar "siapa yang salah" --- sebuah pertanyaan yang datang dari hati banyak orang tua generasi 80-an dan 90-an:
Mengapa dulu, ketika kita ditegur atau bahkan ditampar guru, orang tua kita tidak marah? Mengapa sekarang, sedikit teguran saja bisa berujung pelaporan hukum?
Pertanyaan sederhana ini, sesungguhnya adalah refleksi tentang pergeseran nilai moral dan relasi antara guru, orang tua, dan anak di Indonesia modern.
Dulu: Tamparan Bukan Kekerasan, Tapi Pelajaran
Kita yang tumbuh di masa lalu, tahu persis rasanya berdiri di depan kelas karena lupa membawa PR, atau ditampar karena berbicara kasar pada guru.
Anehnya, kita tidak merasa jadi korban. Kita tahu, itu bagian dari konsekuensi moral.
Dan saat pulang ke rumah dengan pipi memerah, orang tua tak lantas melapor ke polisi. Mereka hanya berkata pelan:
"Kamu pasti salah. Coba pikirkan kenapa kamu diperlakukan begitu."
Itulah bedanya zaman. Dulu, guru adalah figur moral, bukan sekadar pegawai negeri atau pekerja pendidikan.
Ia dipercaya sebagai penjaga nilai.
Tamparannya bukan simbol kekuasaan, melainkan tough love --- cinta yang tegas, bukan kekerasan.
Dalam masyarakat yang menjunjung hierarki moral, disiplin adalah bentuk kasih.
Dan kasih yang lembek dianggap membahayakan masa depan anak.
Sekarang: Dunia di Balik Layar dan Keterbukaan Tanpa Batas
Namun zaman telah berubah. Dunia sekarang hidup di balik layar --- semua hal bisa direkam, dipotong, dan disebar tanpa konteks.
Teguran guru yang dulu berhenti di ruang kelas kini bisa menjadi trending topic nasional.
Tiga hal utama membuat paradigma pendidikan ikut bergeser:
1.Keterbukaan informasi.
Kamera ponsel membuat setiap tindakan bisa diadili publik sebelum sempat dijelaskan.
Ruang pendidikan kini bukan tempat refleksi, tapi panggung opini.
2.Perubahan pola asuh.
Orang tua modern banyak menganut child-centered parenting --- menempatkan anak sebagai pusat perhatian.
Hasilnya, anak diajarkan bahwa perasaan mereka adalah kebenaran, dan setiap luka emosional adalah kesalahan orang lain.
3.Runtuhnya wibawa otoritas.
Guru, pejabat, bahkan tokoh agama kini berada di bawah pengawasan publik yang keras.
Demokrasi memberi ruang bagi kritik, tapi juga menurunkan kadar penghormatan terhadap figur moral.
Guru yang dulu menjadi "panutan" kini hanya "pegawai publik".
Otoritas moral berubah menjadi fungsi administratif.
Dan dengan itu, tamparan --- yang dulu simbol disiplin --- kini menjadi bukti kekerasan dalam laporan hukum.
Dari Disiplin Kolektif ke Sensitivitas Individual
Perubahan paling mencolok adalah arah moral masyarakat.
Dulu, moral kita bersifat kolektif dan hierarkis.
Benar atau salah ditentukan oleh posisi sosial: guru lebih tahu dari murid, orang tua lebih tahu dari anak.
Kini moral menjadi individual dan sensitif.
Setiap individu memiliki hak untuk menentukan batasannya sendiri.
Empati dan kebebasan berekspresi menggantikan kepatuhan dan rasa takut.
Namun di balik idealisme itu, terselip risiko besar: anak tumbuh dalam dunia yang aman tapi rapuh.
Mereka terbiasa dilindungi, tapi tidak terbiasa menerima teguran.
Padahal, tidak ada karakter kuat yang lahir tanpa disiplin.
Sementara tanpa empati, disiplin hanya melahirkan ketakutan.
Kedua nilai itu harus seimbang --- keras yang berperasaan, lembut yang berprinsip.
Orang Tua: Dari Mitra Sekolah Menjadi Pengawas Sekolah
Zaman dahulu, rumah dan sekolah berjalan seirama.
"Kalau anak saya nakal, tolong hukum saja, Pak Guru."
Itulah bentuk kepercayaan moral yang kokoh antara dua institusi utama pendidikan: keluarga dan sekolah.
Kini, logikanya terbalik. Orang tua menempatkan sekolah sebagai pihak eksternal yang harus diawasi, bukan dipercayai.
Kita hidup di era defensive parenting --- orang tua membela anak apa pun alasannya, bahkan sebelum tahu duduk perkara sebenarnya.
Fenomena ini bukan tanpa alasan. Ada banyak kasus di mana guru memang melampaui batas dan melakukan kekerasan yang nyata.
Namun ketika setiap kesalahan kecil langsung dibawa ke polisi, ruang pendidikan berubah menjadi ruang litigasi, bukan pembelajaran.
Guru menjadi takut bersikap tegas, dan siswa kehilangan figur disiplin yang bisa dihormati.
Bukan Moral yang Turun, Tapi Arah yang Bergeser
Banyak orang berkata, "Nilai moral anak sekarang sudah rusak."
Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Moralitas tidak lenyap, ia hanya berubah bentuk.
*Dulu, moral berakar pada kepatuhan; sekarang pada kesadaran.
*Dulu, kebenaran ditentukan oleh otoritas; sekarang, oleh refleksi pribadi.
*Dulu, anak dihargai karena taat; sekarang, karena punya hak.
*Dulu, guru dihormati karena wibawa; sekarang, karena integritas.
Kita sedang berpindah dari budaya disiplin vertikal menuju budaya dialog horizontal.
Bukan berarti lebih buruk, tapi butuh kedewasaan baru untuk menjalankannya.
Masalahnya, banyak dari kita terjebak di tengah.
Generasi orang tua hari ini dibesarkan dengan nilai lama, tapi membesarkan anak di dunia baru.
Hasilnya: konflik moral yang tidak selalu bisa dijembatani.
Kasus Lebak: Cermin Krisis Etika Pendidikan
Kasus SMAN 1 Cimarga bukan sekadar urusan tamparan, melainkan cermin kegagalan komunikasi moral antara tiga pihak: guru, orang tua, dan siswa.
*Guru frustrasi menghadapi pelanggaran berulang tanpa dukungan moral dari orang tua.
*Orang tua kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan.
*Siswa kehilangan figur otoritas yang bisa dihormati tanpa rasa takut.
Seperti kata psikolog pendidikan dari Universitas Airlangga (2024):
"Kekerasan fisik di sekolah menimbulkan trauma, tapi kehilangan figur disiplin yang tegas juga menciptakan kekosongan moral yang tak kalah berbahaya."
(Unair News, 2024)
Solusi: Pendidikan Restoratif, Bukan Represif
Kita tidak perlu kembali ke zaman di mana tamparan dianggap biasa, tapi juga tidak bisa hidup dalam zaman di mana teguran dianggap kriminal.
Solusinya adalah pendidikan restoratif --- pendekatan yang menekankan pemulihan, bukan penghukuman.
Dalam kerangka restorative education, guru dan siswa duduk bersama membahas:
apa kesalahannya, siapa yang dirugikan, dan bagaimana memperbaikinya.
Anak tidak hanya dihukum, tapi diajak memahami akibat perbuatannya.
Guru pun belajar menegur dengan empati, bukan emosi.
Model ini telah diterapkan di banyak sekolah di Finlandia dan Selandia Baru --- dan terbukti menurunkan angka kekerasan tanpa menghapus disiplin.
Karena disiplin sejati bukan membuat anak takut, melainkan membuatnya sadar.
Refleksi: Dulu Kita Patuh Karena Takut, Sekarang Kita Berani Karena Tahu
Dulu kita diam karena takut dimarahi.
Sekarang kita berbicara karena tahu kita punya hak.
Keduanya memiliki nilai, tapi bangsa yang sehat membutuhkan keseimbangan antara keduanya.
Anak harus tahu kapan bersuara, tapi juga kapan mendengar.
Guru harus tahu kapan tegas, tapi juga kapan menahan diri.
Dan orang tua harus tahu kapan membela, tapi juga kapan mendidik melalui refleksi.
Pendidikan sejati bukan hanya tentang siapa yang benar atau salah, tapi tentang bagaimana kita semua belajar menjadi manusia --- bersama.
Referensi
*Detik News. (2025). 630 Siswa SMAN 1 Cimarga Mogok Sekolah Imbas Kepsek Tampar Murid Merokok.
*Antara Banten. (2025). Kepala SMAN 1 Cimarga Dinonaktifkan, Siswa Mulai Kembali Sekolah.
*Media Indonesia. (2025). P2G Minta Gubernur Banten Tidak Tergesa Menonaktifkan Kepala Sekolah.
*UNAIR News. (2024). Bullying Timbulkan Trauma Baik bagi Korban Maupun Pelaku.
*UNESA Research Center. (2024). Pendidikan Restoratif dan Pencegahan Kekerasan di Sekolah.
*Kompas.com. (2023). Pergeseran Pola Asuh di Indonesia dan Tantangan Moral Generasi Baru.
Disclaimer
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis berdasarkan fakta publik dan pandangan akademik yang relevan.
Tidak dimaksudkan untuk membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun, melainkan mengajak refleksi agar guru, orang tua, dan siswa sama-sama belajar membangun ruang pendidikan yang manusiawi dan bermartabat.
Tagar
#Pendidikan #Moralitas #GuruDanMurid #Lebak #RefleksiSosial #Kompasiana #KrisisMoral #RestorativeEducation #OpiniPendidikan #Parenting
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI