Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Menampar, Orang Tua Melapor: Ke Mana Nilai Moral Kita?

15 Oktober 2025   21:44 Diperbarui: 15 Oktober 2025   21:44 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tiga hal utama membuat paradigma pendidikan ikut bergeser:
1.Keterbukaan informasi.
Kamera ponsel membuat setiap tindakan bisa diadili publik sebelum sempat dijelaskan.
Ruang pendidikan kini bukan tempat refleksi, tapi panggung opini.
2.Perubahan pola asuh.
Orang tua modern banyak menganut child-centered parenting --- menempatkan anak sebagai pusat perhatian.
Hasilnya, anak diajarkan bahwa perasaan mereka adalah kebenaran, dan setiap luka emosional adalah kesalahan orang lain.
3.Runtuhnya wibawa otoritas.
Guru, pejabat, bahkan tokoh agama kini berada di bawah pengawasan publik yang keras.
Demokrasi memberi ruang bagi kritik, tapi juga menurunkan kadar penghormatan terhadap figur moral.

Guru yang dulu menjadi "panutan" kini hanya "pegawai publik".
Otoritas moral berubah menjadi fungsi administratif.
Dan dengan itu, tamparan --- yang dulu simbol disiplin --- kini menjadi bukti kekerasan dalam laporan hukum.

Dari Disiplin Kolektif ke Sensitivitas Individual

Perubahan paling mencolok adalah arah moral masyarakat.
Dulu, moral kita bersifat kolektif dan hierarkis.
Benar atau salah ditentukan oleh posisi sosial: guru lebih tahu dari murid, orang tua lebih tahu dari anak.

Kini moral menjadi individual dan sensitif.
Setiap individu memiliki hak untuk menentukan batasannya sendiri.
Empati dan kebebasan berekspresi menggantikan kepatuhan dan rasa takut.

Namun di balik idealisme itu, terselip risiko besar: anak tumbuh dalam dunia yang aman tapi rapuh.
Mereka terbiasa dilindungi, tapi tidak terbiasa menerima teguran.
Padahal, tidak ada karakter kuat yang lahir tanpa disiplin.
Sementara tanpa empati, disiplin hanya melahirkan ketakutan.

Kedua nilai itu harus seimbang --- keras yang berperasaan, lembut yang berprinsip.

Orang Tua: Dari Mitra Sekolah Menjadi Pengawas Sekolah

Zaman dahulu, rumah dan sekolah berjalan seirama.

"Kalau anak saya nakal, tolong hukum saja, Pak Guru."

Itulah bentuk kepercayaan moral yang kokoh antara dua institusi utama pendidikan: keluarga dan sekolah.
Kini, logikanya terbalik. Orang tua menempatkan sekolah sebagai pihak eksternal yang harus diawasi, bukan dipercayai.
Kita hidup di era defensive parenting --- orang tua membela anak apa pun alasannya, bahkan sebelum tahu duduk perkara sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun