Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

PARADOKS (BBM) INDONESIA: Monopoli BBM terselubung oleh Pertamina adalah kebijakan anti modal asing, anti kompetisi dan menyuburkan perburuan rente

7 Oktober 2025   19:14 Diperbarui: 8 Oktober 2025   11:14 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

PARADOKS INDONESIA: "Monopoli BBM terselubung oleh Pertamina adalah kebijakan anti modal asing, anti kompetisi dan menyuburkan perburuan rente"

Ketika pemerintah berbicara tentang "iklim investasi yang ramah dan terbuka", publik biasanya berharap akan ada kebijakan yang sejalan dengan semangat itu: kompetisi sehat, efisiensi pasar, dan kepastian hukum bagi semua pelaku usaha. Namun, harapan itu seolah menguap begitu saja setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan bahwa semua badan usaha swasta wajib membeli BBM murni (base fuel) dari Pertamina untuk memenuhi kebutuhan stok mereka pada tahun 2025.

Kebijakan ini diumumkan oleh Dirjen Migas, Laode Sulaeman, usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, serta disebut telah mendapat restu Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Dalam pernyataannya (7/10/2025), Laode menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga neraca komoditas nasional agar tidak "sebentar-sebentar impor". Ia juga menyebut bahwa tiga SPBU swasta---BP, AKR, dan VIVO---sudah sepakat membeli BBM dari Pertamina, sementara Shell masih menolak dengan alasan internal korporasi.

Sekilas, argumen pemerintah tampak rasional: Indonesia tidak ingin bergantung pada impor, apalagi di tengah fluktuasi harga minyak global dan melemahnya rupiah. Namun bila ditelaah lebih dalam, kebijakan ini justru mengandung kontradiksi logis dan struktural. Ia tidak hanya mengaburkan semangat liberalisasi pasar energi, tetapi juga menekan konsumen dan investor dalam satu tarikan napas yang sama.

BBM Swasta yang Tak Lagi "Swasta"

Bayangkan Anda mengelola SPBU dengan merek internasional seperti Shell atau BP. Selama ini, Anda dikenal karena menjual BBM dengan standar mutu tinggi---RON 95 ke atas, aditif unggulan, serta pelayanan cepat dan bersih. Anda berinvestasi triliunan rupiah untuk membangun jaringan SPBU yang modern. Namun tiba-tiba pemerintah memerintahkan agar semua bahan bakar yang Anda jual harus dibeli dari pesaing langsung Anda sendiri: Pertamina.

Kondisi ini tidak ubahnya seperti meminta restoran cepat saji asing membeli daging, bumbu, dan kentang dari restoran BUMN saingannya. Sulit tidak menyebutnya absurd.

Secara struktural, Pertamina adalah pemain dominan sekaligus regulator bayangan. Ia menguasai infrastruktur kilang, terminal, dan distribusi bahan bakar. Ketika swasta dipaksa membeli dari Pertamina, maka pasar energi otomatis berubah menjadi pasar satu pintu dengan risiko monopoli terselubung.

Dalam teori ekonomi pasar, kondisi seperti ini menciptakan conflict of interest yang serius: pemasok memiliki insentif untuk menentukan harga tinggi dan menekan inovasi pesaingnya. Akibatnya, konsumen kehilangan alternatif produk, sementara swasta kehilangan daya tawar.

Kontradiksi dengan Janji Investasi Asing

Kementerian Investasi/BKPM selama ini gencar menggaungkan semangat keterbukaan. Mereka berbicara tentang ease of doing business, perbaikan iklim investasi, hingga peluang kolaborasi dengan modal asing. Namun kebijakan ESDM ini justru mengirimkan sinyal sebaliknya.

Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, bahkan mengakui adanya usulan dari sektor swasta untuk menambah kuota impor, tetapi ditolak karena "kuota Pertamina masih mencukupi". Pernyataan itu, meski diplomatis, sebenarnya mengindikasikan pembatasan administratif yang tidak berbasis pasar.

Padahal, investasi asing di sektor hilir migas sangat bergantung pada kepastian akses pasokan dan kebebasan menentukan rantai nilai bisnisnya. Ketika akses itu dibatasi, investor tidak lagi berhadapan dengan risiko ekonomi, melainkan risiko politik---sesuatu yang paling mereka hindari.

Kita bisa belajar dari pengalaman Shell di Malaysia, TotalEnergies di Thailand, atau BP di Tiongkok---semuanya berkembang karena diberi ruang kompetisi yang sehat, bukan dipaksa membeli dari pesaing lokal. Di Indonesia, justru sebaliknya: liberalisasi yang digembar-gemborkan sejak reformasi energi awal 2000-an kini dikorbankan atas nama "stabilitas pasokan".

Konsumen yang Kehilangan Pilihan

Masalah berikutnya adalah kualitas dan pelayanan. Ketika SPBU swasta harus menggunakan base fuel Pertamina, mereka otomatis kehilangan diferensiasi produk. BBM yang dijual di SPBU Shell atau BP tidak lagi berbeda secara kimiawi dari yang dijual di Pertamina. Satu-satunya perbedaan tinggal di label dan harga.

Bagi konsumen, ini kabar buruk. Tidak ada lagi jaminan mutu lebih baik, efisiensi mesin, atau layanan premium. Sementara harga justru bisa lebih mahal karena SPBU swasta harus menanggung margin pembelian dari Pertamina.

Dalam jangka panjang, ini akan menurunkan standar pelayanan publik sektor energi. Konsumen yang dulu memilih SPBU swasta karena pelayanan lebih cepat, toilet bersih, dan kualitas BBM tinggi, kini tak punya alasan lagi. Akibatnya, monopoli kenyamanan dan pasokan kembali ke tangan Pertamina.

Inilah bentuk kemunduran pasar energi yang sesungguhnya: bukan karena krisis pasokan, melainkan karena hilangnya kompetisi.

Alasan "Neraca Komoditas" yang Tidak Konsisten

Dirjen Migas berdalih bahwa pembatasan impor dilakukan untuk menjaga neraca komoditas nasional, agar Indonesia tidak "sebentar-sebentar impor". Argumen ini tampak nasionalistik, tetapi sesungguhnya rapuh.

Pertama, BBM yang dijual oleh SPBU swasta seperti Shell atau BP adalah BBM non-subsidi, dengan angka oktan tinggi dan harga pasar penuh. Artinya, tidak membebani APBN sama sekali. Membatasi impor untuk BBM jenis ini tidak ada hubungannya dengan efisiensi fiskal.

Kedua, bila SPBU swasta dilarang impor, Pertamina justru harus menambah impor sendiri untuk memasok mereka. Secara makro, volume impor nasional tetap sama---bedanya hanya siapa yang melakukan. Jadi argumen "mengurangi impor" sebenarnya tidak berdampak signifikan terhadap neraca pembayaran.

Ketiga, kebijakan ini menciptakan distorsi logistik. Tidak semua BBM Pertamina sesuai dengan standar aditif dan spesifikasi yang digunakan Shell, BP, atau VIVO. Untuk menyesuaikan mutu, mereka harus melakukan reblending yang menambah biaya. Pada akhirnya, biaya ini akan ditransfer ke konsumen melalui kenaikan harga jual.

Rente yang Kian Subur

Masalah paling serius dari kebijakan ini bukan hanya monopoli, tetapi peluang rente.
Ketika akses pasokan hanya bisa lewat satu pintu, maka siapa pun yang mengendalikan pintu itu memiliki kekuatan ekonomi dan politik luar biasa besar.

Kita sudah sering mendengar bagaimana praktik rente dalam bisnis energi tumbuh subur di level distribusi: dari kuota impor, perizinan terminal BBM, hingga perbedaan harga antar wilayah. Dengan kebijakan baru ini, rantai rente menjadi lebih tertutup dan sulit diawasi, karena semuanya terpusat di satu entitas---Pertamina.

Para analis energi seperti Faisal Basri dan Toto Pranoto sudah lama mengingatkan: setiap kali pemerintah menutup ruang kompetisi di sektor strategis, yang tumbuh bukan efisiensi, melainkan perburuan rente (rent-seeking).

Sayangnya, pemerintah tampak lebih sibuk menjaga kuota daripada membangun sistem transparansi pasokan energi nasional.

Konsekuensi Jangka Panjang: Pasar Mengecil, Investasi Menyusut

Jika kebijakan ini berlanjut hingga 2026, sektor hilir migas Indonesia akan kehilangan minat investor asing. SPBU asing akan berpikir ulang untuk memperluas jaringan mereka. Akibatnya:
1.Lapangan kerja baru berkurang,
2.Transfer teknologi kilang dan distribusi modern terhenti,
3.Konsumen kehilangan alternatif pelayanan berkualitas.

Ironisnya, di saat negara-negara tetangga berlomba menarik investasi hijau dan efisien di sektor energi, Indonesia justru menarik rem tangan sendiri dengan kebijakan proteksionis yang tidak produktif.

Padahal, liberalisasi sektor energi pernah menjadi bagian dari agenda reformasi pasca-2000 yang melahirkan UU Migas No. 22/2001. Undang-undang itu secara eksplisit mendorong kompetisi dan transparansi pasar BBM. Dua dekade kemudian, semangat itu tampak terbalik: pasar dipersempit, pemain dikontrol, dan harga diatur.

Pertamina Tidak Salah --- Tapi Jangan Didewakan

Penting untuk ditegaskan: masalahnya bukan pada Pertamina sebagai entitas BUMN, tetapi pada cara pemerintah menempatkan Pertamina sebagai pemain sekaligus pengatur ritme pasar.

Pertamina memang memikul beban besar---subsidi energi, penyediaan BBM di wilayah 3T, hingga menjaga stok nasional. Namun membebani swasta untuk membeli dari Pertamina bukan solusi, melainkan pemeliharaan status quo.

Di balik retorika "kolaborasi", kebijakan ini sebenarnya menunjukkan ketakutan pemerintah menghadapi pasar bebas. Ketakutan bahwa jika swasta dibiarkan impor, Pertamina tidak akan mampu bersaing secara efisien. Padahal, justru dari kompetisi itulah perbaikan kualitas dan efisiensi seharusnya muncul.

Kebijakan yang melindungi terlalu banyak justru melemahkan kemampuan Pertamina berkompetisi secara global.

Solusi yang Seharusnya Ditempuh

Ada beberapa langkah alternatif yang lebih sehat dan konsisten secara ekonomi:
1.Transparansi Kuota Impor BBM
Pemerintah perlu membuka data kuota impor per jenis BBM, per badan usaha, agar publik tahu siapa mendapat berapa. Ini akan mengurangi ruang rente dan memperkuat akuntabilitas.
2.Regulasi Neraca Komoditas yang Proporsional
Jangan samakan BBM subsidi dan non-subsidi dalam satu kerangka "neraca komoditas". Produk komersial harus dibiarkan mengikuti mekanisme pasar.
3.Fasilitasi Kilang Swasta
Jika pemerintah ingin kemandirian energi, dorong pembangunan kilang swasta dengan insentif fiskal, bukan dengan pemaksaan pembelian dari Pertamina.
4.Audit Independen atas Efektivitas Kebijakan
DPR dan BPK seharusnya melakukan audit terhadap dampak ekonomi kebijakan ini, terutama terhadap harga, kualitas, dan struktur pasar BBM nasional.
5.Konsistensi dengan Agenda Investasi Nasional
BKPM dan ESDM harus satu suara: tidak mungkin mengundang investor asing sambil membatasi ruang gerak bisnis mereka.

Penutup: Stabilitas yang Mengorbankan Masa Depan

Pemerintah mungkin berharap kebijakan ini akan menjaga stabilitas pasokan energi di tahun politik yang sensitif. Namun stabilitas yang diperoleh dengan mengorbankan kompetisi, efisiensi, dan kepercayaan investor hanyalah stabilitas semu.

Seperti yang pernah diingatkan ekonom klasik Frdric Bastiat, "kerusakan kebijakan sering kali tersembunyi di balik apa yang tidak tampak." Apa yang tampak hari ini mungkin hanya pasokan BBM yang lancar, tetapi yang tidak tampak adalah menyusutnya pasar, matinya inovasi, dan menguatnya rente.

Jika kebijakan ini tidak direvisi, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke masa di mana energi menjadi alat politik dan rente menjadi sumber kekuasaan---bukan pelayanan publik.

Referensi
1.DetikFinance (7 Oktober 2025). "ESDM Minta Shell-BP Beli BBM Pertamina: Jangan Sebentar-sebentar Impor!"
2.UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
3.CNBC Indonesia (2024). "Shell dan BP Pertanyakan Regulasi Impor BBM di Indonesia."
4.Katadata (2023). "Investasi SPBU Asing Lesu, Pemerintah Dinilai Tak Konsisten."
5.Tempo.co (2022). "Faisal Basri: Rente Energi Indonesia Makin Menggurita."
6.The Jakarta Post (2023). "Fuel Market Liberalization Stagnates amid Regulatory Uncertainty."
7.Kompas (2024). "Kebijakan Energi Nasional dan Tantangan Iklim Investasi."

Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber publik dan pernyataan resmi pemerintah. Esai ini tidak dimaksudkan untuk menyerang individu atau lembaga tertentu, melainkan untuk memberikan refleksi kritis terhadap kebijakan publik di sektor energi.

#EnergiNasional #Pertamina #ShellBP #KebijakanESDM #PasarMigas #InvestasiAsing #RenteEkonomi #KompasianaOpini #Ronald Sumual Pasir

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun