Pertamina Tidak Salah --- Tapi Jangan Didewakan
Penting untuk ditegaskan: masalahnya bukan pada Pertamina sebagai entitas BUMN, tetapi pada cara pemerintah menempatkan Pertamina sebagai pemain sekaligus pengatur ritme pasar.
Pertamina memang memikul beban besar---subsidi energi, penyediaan BBM di wilayah 3T, hingga menjaga stok nasional. Namun membebani swasta untuk membeli dari Pertamina bukan solusi, melainkan pemeliharaan status quo.
Di balik retorika "kolaborasi", kebijakan ini sebenarnya menunjukkan ketakutan pemerintah menghadapi pasar bebas. Ketakutan bahwa jika swasta dibiarkan impor, Pertamina tidak akan mampu bersaing secara efisien. Padahal, justru dari kompetisi itulah perbaikan kualitas dan efisiensi seharusnya muncul.
Kebijakan yang melindungi terlalu banyak justru melemahkan kemampuan Pertamina berkompetisi secara global.
Solusi yang Seharusnya Ditempuh
Ada beberapa langkah alternatif yang lebih sehat dan konsisten secara ekonomi:
1.Transparansi Kuota Impor BBM
Pemerintah perlu membuka data kuota impor per jenis BBM, per badan usaha, agar publik tahu siapa mendapat berapa. Ini akan mengurangi ruang rente dan memperkuat akuntabilitas.
2.Regulasi Neraca Komoditas yang Proporsional
Jangan samakan BBM subsidi dan non-subsidi dalam satu kerangka "neraca komoditas". Produk komersial harus dibiarkan mengikuti mekanisme pasar.
3.Fasilitasi Kilang Swasta
Jika pemerintah ingin kemandirian energi, dorong pembangunan kilang swasta dengan insentif fiskal, bukan dengan pemaksaan pembelian dari Pertamina.
4.Audit Independen atas Efektivitas Kebijakan
DPR dan BPK seharusnya melakukan audit terhadap dampak ekonomi kebijakan ini, terutama terhadap harga, kualitas, dan struktur pasar BBM nasional.
5.Konsistensi dengan Agenda Investasi Nasional
BKPM dan ESDM harus satu suara: tidak mungkin mengundang investor asing sambil membatasi ruang gerak bisnis mereka.
Penutup: Stabilitas yang Mengorbankan Masa Depan
Pemerintah mungkin berharap kebijakan ini akan menjaga stabilitas pasokan energi di tahun politik yang sensitif. Namun stabilitas yang diperoleh dengan mengorbankan kompetisi, efisiensi, dan kepercayaan investor hanyalah stabilitas semu.
Seperti yang pernah diingatkan ekonom klasik Frdric Bastiat, "kerusakan kebijakan sering kali tersembunyi di balik apa yang tidak tampak." Apa yang tampak hari ini mungkin hanya pasokan BBM yang lancar, tetapi yang tidak tampak adalah menyusutnya pasar, matinya inovasi, dan menguatnya rente.
Jika kebijakan ini tidak direvisi, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke masa di mana energi menjadi alat politik dan rente menjadi sumber kekuasaan---bukan pelayanan publik.