Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, bahkan mengakui adanya usulan dari sektor swasta untuk menambah kuota impor, tetapi ditolak karena "kuota Pertamina masih mencukupi". Pernyataan itu, meski diplomatis, sebenarnya mengindikasikan pembatasan administratif yang tidak berbasis pasar.
Padahal, investasi asing di sektor hilir migas sangat bergantung pada kepastian akses pasokan dan kebebasan menentukan rantai nilai bisnisnya. Ketika akses itu dibatasi, investor tidak lagi berhadapan dengan risiko ekonomi, melainkan risiko politik---sesuatu yang paling mereka hindari.
Kita bisa belajar dari pengalaman Shell di Malaysia, TotalEnergies di Thailand, atau BP di Tiongkok---semuanya berkembang karena diberi ruang kompetisi yang sehat, bukan dipaksa membeli dari pesaing lokal. Di Indonesia, justru sebaliknya: liberalisasi yang digembar-gemborkan sejak reformasi energi awal 2000-an kini dikorbankan atas nama "stabilitas pasokan".
Konsumen yang Kehilangan Pilihan
Masalah berikutnya adalah kualitas dan pelayanan. Ketika SPBU swasta harus menggunakan base fuel Pertamina, mereka otomatis kehilangan diferensiasi produk. BBM yang dijual di SPBU Shell atau BP tidak lagi berbeda secara kimiawi dari yang dijual di Pertamina. Satu-satunya perbedaan tinggal di label dan harga.
Bagi konsumen, ini kabar buruk. Tidak ada lagi jaminan mutu lebih baik, efisiensi mesin, atau layanan premium. Sementara harga justru bisa lebih mahal karena SPBU swasta harus menanggung margin pembelian dari Pertamina.
Dalam jangka panjang, ini akan menurunkan standar pelayanan publik sektor energi. Konsumen yang dulu memilih SPBU swasta karena pelayanan lebih cepat, toilet bersih, dan kualitas BBM tinggi, kini tak punya alasan lagi. Akibatnya, monopoli kenyamanan dan pasokan kembali ke tangan Pertamina.
Inilah bentuk kemunduran pasar energi yang sesungguhnya: bukan karena krisis pasokan, melainkan karena hilangnya kompetisi.
Alasan "Neraca Komoditas" yang Tidak Konsisten
Dirjen Migas berdalih bahwa pembatasan impor dilakukan untuk menjaga neraca komoditas nasional, agar Indonesia tidak "sebentar-sebentar impor". Argumen ini tampak nasionalistik, tetapi sesungguhnya rapuh.
Pertama, BBM yang dijual oleh SPBU swasta seperti Shell atau BP adalah BBM non-subsidi, dengan angka oktan tinggi dan harga pasar penuh. Artinya, tidak membebani APBN sama sekali. Membatasi impor untuk BBM jenis ini tidak ada hubungannya dengan efisiensi fiskal.