Kedua, bila SPBU swasta dilarang impor, Pertamina justru harus menambah impor sendiri untuk memasok mereka. Secara makro, volume impor nasional tetap sama---bedanya hanya siapa yang melakukan. Jadi argumen "mengurangi impor" sebenarnya tidak berdampak signifikan terhadap neraca pembayaran.
Ketiga, kebijakan ini menciptakan distorsi logistik. Tidak semua BBM Pertamina sesuai dengan standar aditif dan spesifikasi yang digunakan Shell, BP, atau VIVO. Untuk menyesuaikan mutu, mereka harus melakukan reblending yang menambah biaya. Pada akhirnya, biaya ini akan ditransfer ke konsumen melalui kenaikan harga jual.
Rente yang Kian Subur
Masalah paling serius dari kebijakan ini bukan hanya monopoli, tetapi peluang rente.
Ketika akses pasokan hanya bisa lewat satu pintu, maka siapa pun yang mengendalikan pintu itu memiliki kekuatan ekonomi dan politik luar biasa besar.
Kita sudah sering mendengar bagaimana praktik rente dalam bisnis energi tumbuh subur di level distribusi: dari kuota impor, perizinan terminal BBM, hingga perbedaan harga antar wilayah. Dengan kebijakan baru ini, rantai rente menjadi lebih tertutup dan sulit diawasi, karena semuanya terpusat di satu entitas---Pertamina.
Para analis energi seperti Faisal Basri dan Toto Pranoto sudah lama mengingatkan: setiap kali pemerintah menutup ruang kompetisi di sektor strategis, yang tumbuh bukan efisiensi, melainkan perburuan rente (rent-seeking).
Sayangnya, pemerintah tampak lebih sibuk menjaga kuota daripada membangun sistem transparansi pasokan energi nasional.
Konsekuensi Jangka Panjang: Pasar Mengecil, Investasi Menyusut
Jika kebijakan ini berlanjut hingga 2026, sektor hilir migas Indonesia akan kehilangan minat investor asing. SPBU asing akan berpikir ulang untuk memperluas jaringan mereka. Akibatnya:
1.Lapangan kerja baru berkurang,
2.Transfer teknologi kilang dan distribusi modern terhenti,
3.Konsumen kehilangan alternatif pelayanan berkualitas.
Ironisnya, di saat negara-negara tetangga berlomba menarik investasi hijau dan efisien di sektor energi, Indonesia justru menarik rem tangan sendiri dengan kebijakan proteksionis yang tidak produktif.
Padahal, liberalisasi sektor energi pernah menjadi bagian dari agenda reformasi pasca-2000 yang melahirkan UU Migas No. 22/2001. Undang-undang itu secara eksplisit mendorong kompetisi dan transparansi pasar BBM. Dua dekade kemudian, semangat itu tampak terbalik: pasar dipersempit, pemain dikontrol, dan harga diatur.