Oleh: er.es.pe
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh pernyataan Menteri Keuangan Purbaya yang menyatakan bahwa pemerintah akan menarik uang-uang dolar milik WNI yang disimpan di luar negeri. Sekilas, wacana ini terdengar heroik, patriotik, bahkan bisa menumbuhkan optimisme rakyat bahwa Indonesia punya instrumen baru untuk memperkuat cadangan devisa dan menjaga stabilitas rupiah. Namun, di balik jargon besar ini, ada pertanyaan mendasar: apakah wacana itu realistis, secara hukum, politik, dan kebijakan? Atau sekadar gimmick retoris untuk meredam kepanikan ekonomi dalam negeri?
1. Latar Belakang: Dollar, Rupiah, dan Krisis Devisa
Kita tahu, sejak beberapa bulan terakhir, rupiah terus berada dalam tekanan. Faktor global seperti kenaikan suku bunga The Fed, pelemahan ekspor komoditas, serta defisit transaksi berjalan membuat posisi rupiah makin rapuh. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tentu mencari berbagai cara untuk menambah pasokan dolar. Salah satu "gudang dolar" yang kerap disebut adalah dana milik WNI di luar negeri, baik dalam bentuk tabungan pribadi, investasi, maupun aset perusahaan yang diparkir di Singapura, Hong Kong, hingga Swiss.
Menurut laporan Global Wealth Migration (Henley & Partners, 2023), ada ribuan High Net-Worth Individuals (HNWI) asal Indonesia yang menyimpan aset mereka di luar negeri, dengan estimasi nilai mencapai ratusan miliar dolar AS. Angka ini jelas sangat menggoda. Bayangkan bila sebagian saja dari dana tersebut bisa kembali, betapa besar tambahan devisa untuk menopang rupiah.
2. Aspek Hukum: Bisa atau Tidak?
Secara hukum, pemerintah Indonesia tidak memiliki yurisdiksi langsung untuk menarik paksa dana milik WNI yang disimpan di luar negeri. Uang tersebut berada di bawah perlindungan hukum negara tempat penyimpanan. Misalnya, bila seorang konglomerat Indonesia menaruh miliaran dolar di bank Singapura, maka dana itu tunduk pada hukum perbankan Singapura, bukan hukum Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak bisa begitu saja meminta bank asing untuk memindahkan aset tanpa dasar hukum internasional yang kuat.
Satu-satunya jalan yang mungkin adalah melalui instrumen pajak---seperti yang pernah dilakukan lewat program Tax Amnesty 2016 di era Presiden Jokowi. Saat itu, WNI diberi kesempatan untuk mendeklarasikan dan merepatriasi aset luar negeri dengan imbalan keringanan sanksi pajak. Namun, catatan menunjukkan hasilnya tidak maksimal. Banyak wajib pajak memilih hanya melaporkan aset tanpa benar-benar membawa pulang uangnya ke Indonesia.
Dengan pengalaman itu, publik pantas skeptis. Apakah kali ini pemerintah benar-benar punya instrumen hukum baru yang lebih efektif, atau sekadar mengulang retorika lama?
3. Aspek Politik: Kepentingan Oligarki dan Resistensi Elite
Secara politik, wacana Menkeu Purbaya berhadapan dengan tembok besar: oligarki bisnis Indonesia. Sebagian besar pemilik dana jumbo di luar negeri bukan orang biasa, melainkan para taipan dan elite yang punya koneksi erat dengan penguasa. Mereka tentu punya alasan kuat mengapa menyimpan aset di luar negeri, mulai dari keamanan hukum, stabilitas politik, hingga kerahasiaan perbankan. Menarik dana tersebut berarti menyentuh kepentingan kelas atas yang justru sering menjadi "penopang politik" pemerintah.