Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Judi Online,Pinjol dan Pay Later: Jerat Ekonomi yang Dibiarkan Hidup oleh Negara.

14 September 2025   09:27 Diperbarui: 14 September 2025   09:27 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Laporan OJK menyebutkan bunga pinjol bisa mencapai 0,4% per hari, atau lebih dari 146% per tahun. Itu pun belum termasuk denda keterlambatan dan biaya tersembunyi. Tidak sedikit korban yang dipermalukan dengan sebaran data pribadi, diteror penagihan kasar, hingga akhirnya memilih mengakhiri hidup.

Tragedi Ciputat pada 2024---satu keluarga bunuh diri karena utang pinjol---adalah contoh nyata. Utang digunakan untuk menutup judi online, tetapi alih-alih selesai, masalah semakin menumpuk. Kombinasi judi online dan pinjol menciptakan lingkaran setan kemiskinan modern yang sulit diputus.

Investasi Abal-Abal: Janji Manis yang Menipu

Selain pinjol, masyarakat juga dijebak oleh berbagai bentuk investasi bodong. Dari robot trading, kripto abal-abal, hingga arisan online dengan skema ponzi. Semua hadir dengan wajah modern: aplikasi canggih, influencer yang merayu, dan janji keuntungan berlipat.

Namun, ketika skema runtuh, yang tersisa hanyalah kerugian besar. Data Satgas Waspada Investasi menunjukkan bahwa kerugian akibat investasi ilegal mencapai lebih dari Rp 150 triliun dalam lima tahun terakhir. Lagi-lagi, negara hadir terlambat. Penindakan baru dilakukan setelah ribuan orang terlanjur kehilangan tabungan hidupnya.

Marketplace dan Budaya Konsumtif Pay Later

Masalah lain datang dari sektor yang tampak legal dan sah: marketplace. Hampir semua platform e-commerce kini menawarkan fitur pay later. Sekilas terlihat praktis, modern, bahkan membantu masyarakat berbelanja tanpa harus menunggu gajian.

Namun, di balik itu, pay later sejatinya adalah pinjol terselubung. Bunga, denda, dan biaya administrasi seringkali tidak disadari pengguna. Konsumen---terutama dari kelas menengah bawah---terdorong untuk membeli di luar kemampuan mereka.

Alih-alih menjadi alat inklusi keuangan, pay later justru menjerumuskan banyak keluarga ke dalam gaya hidup konsumtif yang penuh cicilan. Rumah tangga prasejahtera yang seharusnya berhati-hati justru terdorong berutang demi memenuhi standar hidup semu yang ditawarkan iklan-iklan marketplace.

Mengapa Pemerintah Tidak Tegas?

Pertanyaan yang menghantui adalah: mengapa negara terlihat begitu keras pada pedagang kecil yang melanggar aturan sepele, tetapi lunak terhadap industri keuangan predatoris ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun