Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

PBB: Pajak atau Pengusiran Halus ala Negara?

22 Agustus 2025   18:56 Diperbarui: 22 Agustus 2025   18:56 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

PBB: Pajak atau Pengusiran Halus ala Negara?

Bayangkan Anda sudah bekerja keras puluhan tahun, menabung rupiah demi rupiah, lalu membeli sepetak tanah dan membangun rumah sederhana. Setelah lunas, Anda merasa lega: inilah milik Anda, tempat bernaung hingga tua, harta yang bisa diwariskan kepada anak cucu. Tapi setiap tahun, negara datang dengan selembar kertas bernama SPPT Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Jumlahnya mungkin dulu hanya ratusan ribu, tapi kini melonjak jadi jutaan, bahkan belasan juta. Padahal, penghasilan Anda tidak bertambah---Anda sudah pensiun, hanya mengandalkan tabungan dan uang pensiun yang makin menipis. Pertanyaannya: apakah tanah dan rumah yang sudah Anda beli masih milik Anda, atau kini Anda hanyalah penyewa di tanah sendiri?

Logika Terbalik Pajak Bumi dan Bangunan

Kita terbiasa mendengar jargon: pajak untuk pembangunan. Namun dalam praktiknya, PBB lebih mirip sewa yang harus dibayar rakyat kepada negara. Jika tidak bayar, Anda dianggap menunggak, kena denda, bahkan bisa disita.

Bukankah ini ironis? Rakyat yang sudah membeli tanah, sudah membayar bea perolehan, bahkan PPN atau BPHTB saat transaksi, masih juga diwajibkan membayar "sewa" tiap tahun. Lalu apa arti kepemilikan?

Inilah logika terbalik PBB: Anda membayar untuk memiliki, tapi tetap harus membayar untuk tinggal. Jika tidak, kepemilikan Anda bisa dipersoalkan. Apakah ini kepemilikan atau penyewaan terselubung?

PBB sebagai Mekanisme Pengusiran Halus

Mari kita jujur: PBB seringkali menjadi alat pengusiran halus. Bukan dengan buldoser, bukan dengan aparat, tapi dengan angka-angka dingin di atas kertas.

Lihat fenomena di banyak kota besar. Daerah yang dulunya kampung sederhana tiba-tiba naik NJOP-nya karena ada mal, tol, atau kawasan elit baru. Warga asli yang sudah tinggal puluhan tahun terjebak. Pajak melonjak, mereka tidak sanggup membayar. Akhirnya menjual tanah ke pengembang dengan harga "dipaksa setuju".

Negara tidak pernah mengusir mereka secara langsung. Tapi lewat PBB, negara pelan-pelan mendorong mereka keluar. Apakah ini adil, atau sekadar cara halus negara menjadi makelar tanah?

Dimana Keadilan Sosial Itu?

Filsafat pajak menuntut keadilan. Prinsip ability to pay---membayar sesuai kemampuan---adalah dasar yang tak bisa ditawar. Namun PBB justru mengabaikan prinsip itu.

Pensiunan yang tidak punya penghasilan tetap dipaksa membayar dengan basis NJOP, bukan berdasarkan kemampuan finansialnya. Ironisnya, NJOP sering naik bukan karena usaha pemilik, melainkan karena spekulasi pasar dan pembangunan yang mereka tidak pernah minta.

Ini bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945: setiap orang berhak bertempat tinggal. Apa arti hak itu, jika rakyat kecil digiring keluar dari rumahnya sendiri hanya karena tak mampu bayar PBB?

Praktik Negara Lain: Ada yang Lebih Manusiawi

Lihatlah negara lain, yang jauh lebih peka terhadap kondisi rakyatnya:
*Kanada: Lansia boleh menunda pajak properti sampai rumah dijual atau diwariskan. Tidak ada cerita orang tua diusir dari rumah hanya karena tak mampu bayar pajak.
*Singapura: Rumah pertama yang ditempati pemilik dikenai tarif rendah. Rumah kedua, ketiga, atau rumah investasi baru kena pajak tinggi.
*Jerman: Tarif pajak properti rendah dan stabil. Subsidi diberikan kepada pemilik berpenghasilan rendah.
*AS: Beberapa negara bagian memberi homestead exemption bagi warga senior---pajak rumah mereka dibekukan atau dipangkas drastis.

Jadi, kalau negara lain bisa lebih manusiawi, mengapa Indonesia justru semakin menekan rakyat kecil dengan PBB?

Solusi: Pajak Harus Adil, Bukan Alat Pemiskinan

Ada banyak jalan keluar jika pemerintah serius ingin menghadirkan keadilan:
1.Bebaskan rumah pertama yang ditempati pemilik dari PBB. Pajak seharusnya fokus pada properti investasi, bukan rumah rakyat kecil.
2.Beri keringanan bagi pensiunan dan lansia. Mereka tidak punya penghasilan rutin, maka tak pantas dipaksa bayar pajak tanah tiap tahun.
3.Pajak berbasis penghasilan, bukan NJOP semata. Harga pasar tanah tidak selalu cerminan kemampuan pemilik.
4.Tarif progresif untuk spekulasi. Rumah kosong, tanah nganggur, atau kepemilikan ganda justru yang harus dikenai tarif tinggi.

Penutup: Pemilik atau Penyewa di Tanah Sendiri?

Pertanyaan sederhana ini harus kita renungkan: apakah rakyat Indonesia benar-benar pemilik tanah dan rumahnya, ataukah hanya penyewa abadi kepada negara?

Jika PBB terus dinaikkan tanpa memperhatikan kemampuan rakyat, terutama pensiunan dan warga kecil, maka pajak itu tidak lagi sah secara moral. Ia berubah menjadi alat pemiskinan, bahkan pengusiran terselubung.

Negara tidak perlu mengerahkan aparat untuk menggusur. Cukup biarkan angka-angka pajak itu mencekik, dan rakyat dengan sendirinya angkat kaki.

Mungkin inilah wajah baru penjajahan: bukan lagi lewat kolonial asing, tapi lewat kebijakan fiskal yang mengusir rakyat dari tanah mereka sendiri.

Referensi
*UUD 1945, Pasal 28H.
*OECD (2022). Taxation of Property.
*Pemerintah Kanada. Property Tax Deferral Programs for Seniors.
*IRAS Singapore. Property Tax Rates.
*Bahl, R., & Martinez-Vazquez, J. (2008). The Property Tax in Practice.

Disclaimer

Tulisan ini adalah opini pribadi yang disusun berdasarkan kajian literatur, praktik internasional, dan realitas sosial di Indonesia. Artikel tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum atau fiskal, melainkan sebagai bahan refleksi dan kritik publik.

Tagar

#PajakBumiBangunan #KeadilanSosial #HakAtasRumah #PengusiranHalus #Kompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun