3. Ketimpangan Akses:
Akibat biaya tinggi, anak-anak dari keluarga miskin kesulitan kuliah, atau terpaksa berhutang (via KIP-Kuliah atau pinjaman swasta). Pemerataan sosial lewat pendidikan akhirnya hanya jadi mitos.
Apakah Ini Sesuai UUD 1945?
Pasal 31 UUD 1945 ayat (1):
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."
Ayat (2):
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."
Ayat (4):
"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD."
Catatan Kritis:
Meskipun ayat (2) menyebut pendidikan dasar, pasal ini tidak berarti pendidikan tinggi boleh dibisniskan tanpa batas. Pendidikan tinggi tetap dalam kerangka "hak warga negara", bukan privilese bagi si kaya. UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi menyebut bahwa pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan entitas bisnis.
Jadi, komersialisasi pendidikan tinggi jelas bertentangan dengan semangat konstitusi, apalagi jika membatasi akses rakyat miskin.
Analisis Filosofis: Ilmu atau Dagangan?
Pendidikan seharusnya berdiri di atas nilai kebenaran dan kemanusiaan, bukan laba. Tokoh pendidikan dunia seperti Paulo Freire telah memperingatkan akan bahaya banking education --- pendidikan yang memposisikan murid sebagai obyek pasif dan lembaga sebagai "mesin transfer modal intelektual".
Di Indonesia, pendidikan tinggi cenderung terjebak pada komodifikasi: mahasiswa menjadi konsumen, kampus jadi korporasi, dosen dikejar jurnal dan akreditasi yang "menguntungkan". Padahal pendidikan adalah medium transformasi etis, sosial, dan spiritual, bukan cuma sarana "menyerap tenaga kerja."
Rekomendasi Filosofis dan Teknis: