Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Tinggi Dibisniskan: Indonesia Gagal Menjamin Akses Pendidikan Tinggi Gratis Seperti Jerman?

18 Juli 2025   19:13 Diperbarui: 18 Juli 2025   19:13 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan Tinggi Dibisniskan: Mengapa Indonesia Gagal Menjamin Akses Pendidikan Tinggi Gratis Seperti Jerman?

Oleh: Ronald Sumual Pasir

Pendahuluan:

Di berbagai negara, pendidikan tinggi telah menjadi instrumen strategis dalam memajukan bangsa. Negara-negara seperti Jerman, Norwegia, Finlandia, bahkan Argentina, telah memberikan pendidikan tinggi gratis sebagai bagian dari investasi jangka panjang terhadap kualitas manusia dan peradaban. Ironisnya, di Indonesia --- negeri yang konon "gemah ripah loh jinawi" --- pendidikan tinggi justru dijadikan komoditas pasar. Biaya kuliah mahal, sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) seringkali tidak transparan, dan BUMN-BUMN pendidikan menjelma jadi semacam "PT komersial" berbalut akademik.

Apa yang salah? Apakah ini sesuai dengan amanat konstitusi kita sendiri?

Negara-Negara yang Memberikan Pendidikan Tinggi Gratis:

Beberapa negara yang berhasil menjamin pendidikan tinggi tanpa biaya (atau sangat murah) antara lain:
1.Jerman -- Pendidikan tinggi negeri gratis untuk semua, termasuk mahasiswa internasional.
2.Norwegia & Finlandia -- Bebas biaya untuk warga negara dan mahasiswa Uni Eropa, serta murah untuk internasional.
3.Swedia & Denmark -- Gratis untuk warga negara.
4.Argentina -- Pendidikan tinggi publik gratis dan terbuka.
5.Slovenia, Republik Ceko, Yunani -- Menyediakan universitas negeri gratis atau sangat murah.

Filosofi negara-negara ini sederhana namun bernas: pendidikan bukan hak istimewa, tetapi hak dasar. Negara hadir bukan sebagai pedagang ilmu, tetapi sebagai fasilitator pencerdasan.

Mengapa Indonesia Tidak Melakukan Hal yang Sama?

1. Perspektif Anggaran:
Dalam RAPBN 2026, pemerintah Indonesia mengalokasikan subsidi listrik hingga Rp97--104 triliun, namun anggaran pendidikan tinggi masih sangat terbatas dan cenderung menurun secara riil. Pemerintah kerap beralasan bahwa anggaran negara terbatas dan universitas harus "mandiri", padahal "kemandirian" ini sering berarti komersialisasi.

2. Komersialisasi Pendidikan via BHMN, PTN-BH:
Banyak kampus negeri kini berubah status menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri -- Badan Hukum) yang memungkinkan mereka menetapkan tarif UKT tinggi, membuka program non-reguler yang mahal, hingga membuka lini bisnis. Hal ini menimbulkan kesan pendidikan menjadi ladang cuan, bukan lagi ruang pengabdian dan pencerdasan.

3. Ketimpangan Akses:
Akibat biaya tinggi, anak-anak dari keluarga miskin kesulitan kuliah, atau terpaksa berhutang (via KIP-Kuliah atau pinjaman swasta). Pemerataan sosial lewat pendidikan akhirnya hanya jadi mitos.

Apakah Ini Sesuai UUD 1945?

Pasal 31 UUD 1945 ayat (1):
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."

Ayat (2):
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."

Ayat (4):
"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD."

Catatan Kritis:
Meskipun ayat (2) menyebut pendidikan dasar, pasal ini tidak berarti pendidikan tinggi boleh dibisniskan tanpa batas. Pendidikan tinggi tetap dalam kerangka "hak warga negara", bukan privilese bagi si kaya. UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi menyebut bahwa pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan entitas bisnis.

Jadi, komersialisasi pendidikan tinggi jelas bertentangan dengan semangat konstitusi, apalagi jika membatasi akses rakyat miskin.

Analisis Filosofis: Ilmu atau Dagangan?

Pendidikan seharusnya berdiri di atas nilai kebenaran dan kemanusiaan, bukan laba. Tokoh pendidikan dunia seperti Paulo Freire telah memperingatkan akan bahaya banking education --- pendidikan yang memposisikan murid sebagai obyek pasif dan lembaga sebagai "mesin transfer modal intelektual".

Di Indonesia, pendidikan tinggi cenderung terjebak pada komodifikasi: mahasiswa menjadi konsumen, kampus jadi korporasi, dosen dikejar jurnal dan akreditasi yang "menguntungkan". Padahal pendidikan adalah medium transformasi etis, sosial, dan spiritual, bukan cuma sarana "menyerap tenaga kerja."

Rekomendasi Filosofis dan Teknis:

1. Negara Harus Mengembalikan Fungsi Pendidikan sebagai Hak Dasar:
Reformasi undang-undang pendidikan tinggi diperlukan untuk mempertegas bahwa pendidikan tinggi adalah hak rakyat, bukan komoditas.

2. Anggaran Pendidikan Tinggi Harus Ditingkatkan:
Jika subsidi energi bisa tembus Rp100 triliun, subsidi pendidikan tinggi untuk rakyat seharusnya diprioritaskan secara proporsional. Misalnya, beasiswa penuh untuk keluarga tidak mampu, bukan sekadar KIP-K yang selektif dan birokratis.

3. Evaluasi Status PTN-BH:
Transparansi dalam UKT dan audit keuangan kampus harus dilakukan agar tak ada celah bisnis yang merugikan mahasiswa.

4. Perluasan Kampus Negeri Berkualitas di Daerah:
Agar akses pendidikan tinggi merata dan tidak hanya bertumpu pada kota besar.

5. Aliansi Rakyat untuk Pendidikan:
Diperlukan gerakan sosial lintas elemen (mahasiswa, guru, orang tua) untuk menuntut hak pendidikan gratis sebagaimana di Jerman atau Norwegia.

Penutup:

Ketika anak-anak bangsa gagal kuliah hanya karena tak mampu bayar, maka itu bukan sekadar masalah pendidikan --- tapi pengkhianatan terhadap konstitusi, keadilan sosial, dan masa depan Indonesia. Pendidikan tidak boleh jadi dagangan. Negeri ini tidak kekurangan dana, tetapi kekurangan kehendak politik yang berpihak pada rakyat kecil.

Referensi:
1.UUD 1945, Pasal 31.
2.UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
3.RAPBN 2026, proyeksi subsidi energi dan pendidikan (via Kompas, CNBC Indonesia, 2025).
4.Artikel DW.com: Why Germany Offers Free College Education to All.
5.Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, 1970.
6.Kompas: "UKT Mahal dan Krisis Akses Pendidikan Tinggi", 2024.
7.BBC Indonesia: "Mengapa pendidikan tinggi gratis bisa dilakukan di Eropa?"

Disclaimer:
Tulisan ini disusun untuk keperluan edukatif, reflektif, dan advokasi sosial. Tidak dimaksudkan untuk menyerang institusi manapun secara personal. Seluruh data bersumber dari publikasi terbuka dan dapat diverifikasi secara independen.

#PendidikanGratis
#KeadilanSosial
#UUD1945
#PTNBH
#StopKomersialisasiPendidikan
#PendidikanUntukSemua
#KompasianaEdu

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun