Rudal, Rapat, dan Retorika: Dunia Tertidur di Atas Abu Anak-anak Gaza
Oleh: Ronald Sumual Pasir
Bayangkan sebuah dunia di mana anak-anak yang sedang bermain bola tiba-tiba berubah menjadi abu. Bayangkan dunia yang tahu persis siapa yang menjatuhkan bom, tapi malah mengadakan rapat panjang untuk "menyusun pernyataan sikap." Dan bayangkan dunia itu adalah dunia kita---hari ini---di abad 21, di mana kita bisa memesan makanan lewat aplikasi, tapi tak bisa menghentikan rudal yang mengoyak tubuh balita Palestina.
Inilah ironi terbesar dalam sejarah modern: semakin canggih peradaban, semakin brutal kejahatan yang dibungkus hukum dan diplomasi.
Gaza: Neraka Buatan Manusia
Sejak Oktober 2023, Gaza berubah dari wilayah terblokade menjadi ladang eksekusi massal. Lebih dari 15.000 anak-anak Palestina tewas. Sekolah, rumah sakit, bahkan tempat penampungan PBB menjadi sasaran rudal---dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak Amerika Serikat. Tidak Uni Eropa. Tidak PBB. Tidak siapa pun.
Anak-anak Gaza tidak mati karena kelaparan. Mereka mati karena dunia terlalu sibuk mengatur rapat darurat, menyusun resolusi kosong, dan tentu saja---menjual senjata kepada pelaku genosida.
Rudal Jatuh, Dunia Mengadakan Rapat
Setiap kali Israel mengebom sekolah, rumah sakit, atau tenda pengungsi, komunitas internasional mengeluarkan kalimat favorit mereka:
"Kami sangat prihatin."
Kepedihan warga Gaza direspons dengan pidato panjang di New York. Rudal dijawab dengan diplomasi. Bayi yang tertimbun puing dijawab dengan veto. Dan anak-anak yang dibunuh massal, dijawab dengan janji bantuan kemanusiaan yang tak pernah sampai.