Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Memburu Bubur Kacang Ijo

22 September 2021   15:28 Diperbarui: 22 September 2021   15:30 1763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerobak bubur kang Asep (Dokumen pribadi)


Dengan cekatan, Asep Supriatna memasukkan bubur kacang ijo seciduk demi seciduk ke kantong plastik. Dibantu alat sederhana hasil kreasinya dari kayu dan kawat tebal, tangannya berpindah dari dandang satu ke dandang yang lain(kacang ijo mampir ke santan mencolek ketan hitam), melompat-lompat bak kelinci binal. 

Begitu cakcek(sigap), karena sudah limabelas tahun profesi sebagai penjual bubur kacang ijo ia tekuni. Disamping burjo, gerobaknya juga terisi barisan donat yang berjejer rapi.

Sebelum menekuni dunia burjo, pria asal Banjar Patroman-sebuah wilayah yang dulu bagian dari kabupaten Ciamis, sejak 2003 menjadi kotamadya-Jawa Barat ini jualan es cincau di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. 

Dua tahun cukup baginya bergelut dengan per-cincau-an hingga kawannya membujuk dan mengajarinya untuk pindah haluan berjualan burjo. 

Kenapa burjo? Bukankah kota kelahirannya punya makanan khas yang bisa diperkenalkan ke masyarakat Solo; Renginang Coklat (Rangincok), Mie Lidi, Galedo, Sale Pisang, Kacang Umpet, Otok Owo, Pepes Ikan, Bakso Gawier.

"Bikin Bubur(kacang ijo) gampang, mas", jawabnya singkat seraya terkekeh.

Bubur kacang ijo olahan kang Asep (dokumen pribadi)
Bubur kacang ijo olahan kang Asep (dokumen pribadi)

Adalah bubur kacang ijo(hijau) kudapan manis gurih paling familiar di jagat kuliner. Sejak dulu, sereal jenis ini terkenal sebagai makanan kesehatan. Karena mampu menghilangkan panas serta pembuang racun tubuh(detoksifikasi). 

Fakta, kuliner ini juga ada dilintasan sejarah negeri-negeri Asia timur raya. Walau ada penambahan isi serta bumbu yang sedikit berbeda dengan di Indonesia. 

Misal, ada yang dicampur beras, potongan singkong(umbi), kacang tanah, dsb. Hal itu mungkin sudah jadi budaya masyarakat setempat. 

Bubur kacang ijo bagian dari diversifikasi bubur di nusantara. Hasil perpaduan antara butiran kacang ijo, santan, gula jawa(merah) ditambah sedikit garam ditohok jahe, daun pandan, kayu manis(cinnamon) dimasak sedemikian rupa hingga terbentuk bentangan letrek-letrek diwadah mangkok. 

Saya haqqul yakin, burjo banyak digemari masyarakat segala strata. Sayangnya sejarah bubur ini belum terang; siapa pembuatnya? Pada jaman apa? Bagaimana awal terciptanya kudapan tersebut?

Hamparan literatur yang tersebar hanya mengungkapkan sedikit hal ihwal hidangan urgen para mahasiswa perantau dikala uang defisit. Dulu, para mahasiswa menyakini bahwa bubur kacang ijo ampuh sebagai penguat perut kosong. Daya kenyangnya berdurasi cukup lama. 

Makan satu mangkok bisa menggantikan sepiring nasi dengan sayur beserta lauk. Itupun dengan harga yang lebih murah. Dan-entah tahu atau tidak-burjo sangat kaya akan protein dan vitamin, bagus buat tubuh kita.

Bubur Ketan hitam (dokumen pribadi)
Bubur Ketan hitam (dokumen pribadi)

Bubur kacang ijo ada beberapa versi atau tampilan. Dijaman sekarang, umumnya disandingkan dengan ketan hitam. Khusus burjo Madura, ditambah bubur mutiara, ketan putih, potongan-potongan roti tawar seukuran dadu. 

Bubur kacang ijo juga menjadi garis sejarah hidup saya. Persentuhan dengan bubur kacang ijo berawal dari sekumpulan perantauan dari Sragen-tepatnya dusun Pilang-yang ngekost/magersari dirumah warisan mbah putri. 

Akhir 70-an, seorang dari mereka mengawali jualan burjo. Entah daya tarik apa sehingga tetangga mereka di dusun ikut tersihir mengais rejeki dengan jualan bubur kacang ijo. 

Selain menambah pundi-pundi, jualan bubur awalnya hanya mengisi waktu luang jika tanaman padi mereka baru tumbuh kembang hingga masa panen tiba. 

Cara ini banyak dilakukan para petani diberbagai pelosok desa. Tak hanya menjadi penjual bubur, ada juga yang menekuni profesi sebagai tukang becak, pekerja pabrik batik, tukang batu, buruh angkut, dan masih banyak lagi.

Para pemuda itu disediakan dua ruangan untuk tidur dengan sebidang lahan khusus meletakkan gerobak dorong. Mulai bekerja sore hari dengan memakai tampah(sebuah alat dari anyaman bambu) untuk mengayak, memilah-milah butiran kacang ijo yang dibeli dari pasar Gemblegan. 

Mencari anasir buruk/ kotoran tersembunyi diantara butiran phaseolus radiatus supaya bersih sebelum direndam.

Mereka terbiasa bangun jam dua dini hari. Mengolah berbagai bahan dengan anglo dan arang sebagai bahan bakar. Seringkali, saya terbangun oleh bau  bubur matang. Selarik hembusan jahe berbalut keharuman daun pandan menyentak hidung menyulut simpul otak. Pikiran jadi nggrambyang keenakan.

Pagi hari, kami pasti mendapati satu rengkot(wadah seng yang dicat putih hijau mirip baju tentara atau bebungaan) penuh bubur kacang ijo diatas meja teras rumah. Siapa lagi kalau bukan dari para pemuda dusun tersebut. 

Bertahun-tahun kami menikmatinya sampai menjadi impresi tersendiri. Mungkin itu tanda terima kasih mereka karena wasiat mbah putri agar yang magersari dianggap  sebagai saudara tanpa memungut biaya.

Perputaran waktu mengubah segalanya. Demikian juga para perantauan itu. Meninggalkan magersari karena banyak hal; pindah usaha, merambatnya usia, dan lain sebagainya.

Satu kantong plastik bubur kacang ijo hanya 2000 rupiah (dokumen pribadi)
Satu kantong plastik bubur kacang ijo hanya 2000 rupiah (dokumen pribadi)

Untuk beberapa tahun, persinggungan dengan bubur kacang ijo terhenti, hingga Jakarta di tahun 1993 mempertemukan saya dengannya kembali. Denting nyaring hasil pukulan sendok bebek dipinggir mangkok menjadi  alarm pengejut penghuni rumah susun Klender. 

Penjual bubur kacang ijo asal Semarang, Jawa Tengah menjadikan perempatan jalan penghubung blok sebagai stand temporer di sore hari. Dengan harga tigaratus perak semangkok, kudapan enak itu menjadi satu-satunya penguasa di dunia perbuburan. Racikannya mantap. 

Tambahlah selembar roti tawar-cukup seratus perak-agar rasa kenyang kian mencengkeram kuat. Keramahan dengan tampilan bersih nilai lebih bagi elektabilitas bapak gempal itu.

Dari beberapa bubur kacang ijo yang pernah saya cicipi. Ternyata banyak perbedaan rasa serta tampilan antara satu dengan lain. Harap dimaklumi, karena tiap hati mempunyai keajaiban masing-masing. Tangan dingin pengolah memunculkan cita rasa yang beragam. 

Ada yang rasanya tipis tapi aroma jahenya mendominasi. Ada tampilan buburnya cantik, kental, tapi manisnya kurang. Ada yang nirrasa jahe, rasanya flat, manisnya campuran dari pemanis buatan(sakarin). Ada yang encer, manisnya tak seberapa serta tanpa kesan. 

Dari perburuan itu, hasilnya akhirnya adalah blacklist(saya tidak akan beli lagi disitu. Terutama jika pakai sakarin, tenggorokan langsung bereaksi-batuk dan gatal).

Versi saya, bubur kacang ijo paling enak jika; kentalnya pas, butiran terlihat utuh, rasa jahe dan bau pandan terasa menyengat, santannya gurih menguat.

Dan itu belum saya dapatkan. Karena masalah selera akan menjadi perdebatan. Namun, kalau hanya mendekati ideal, saya sampirkan pada bubur kacang ijo pak Ateng. Lelaki asal Mojo(pinggiran timur Solo) ini hasil racikannya mengena. Cuma, santannya kurang gurih, kurang kental. 

Pak Ateng selalu standby di perempatan jalan Kalilarangan-diiris jalan Gatot Subroto. Sudah bisa dipastikan, sebelum jam sembilan pagi sudah kukut(berkemas). Karena ia menggunakan lahan depan toko.

Disamping pak Ateng, bubur kacang ijo bikinan satu diantara pemuda Sragen-mas Muslim-merupakan favorit saya. Burjonya lezat. Hingga sekarang, saya merasa olahannya itu masih menempel dilidah. Kesannya baru kemarin menyantapnya. Padahal sudah bertahun lampau.

Di Soloraya, penjual bubur kacang ijo betebaran disegala sudut kota. Dengan mematok harga rata-rata limaribu rupiah pembeli menyerbu dengan antusias. Saya kurang begitu tahu kenapa kok bisa seragam. 

Apakah mereka sepakat tanpa bertemu, tapi menjadikan limaribu sebagai harga paling pantas? Walaupun begitu saya pernah mendapati bubur kacang ijo dijual tigaribu rupiah per mangkok di daerah Pengging Boyolali. Rasanya? Maaf brader, tidak sesuai ekspektasi.

Yang mengejutkan, dengan duaribu rupiah, semangkok burjo bisa mengisi lambungmu bila bertemu Asep Supriatna. Lelaki berputra satu ini mematok dagangannya dibawah rata-rata.

"Untungnya berapa mas? kalau dijual segitu?"

"Ya, sedikit", jawabnya sambil mengikat ujung kantong plastik.

"Bukankah harga limaribu sudah umum?", Tanyaku, "Masnya tahukan?"

"Iya, mas. Di sini(Solo) semuanya memang segitu"

"Kenapa tidak dinaikkan?", Saranku.

Mas Asep enggan menjawab. Lagi-lagi hanya senyum yang ia umbar.

"Kalau nggak habis?" Pertanyaanku memburu.

"Saya kasihkan ke orang-orang. Bahkan terpaksa dibuang". Mas Asep punya kebiasaan, kalau bicara pasti diakhiri dengan senyuman. "Karena kalau sampai pagi dipastikan basi".

Berbicara 'basi', saya teringat ucapan pak Ateng, "Bubur kulo niki kuat tekan sonten. Mboten sah dilebetke kulkas. Kulo jamin mboten kecut"(bubur saya ini kuat sampai sore. Tidak usah dimasukkan ke lemari es. Saya jamin tidak kecut/basi).

Statementnya pernah saya buktikan, beli buburnya pagi hari, kemudian saya gantung ditembok. Waktu maghrib saya cicipi. Benar, masih enak. Mungkin proses pengolahannya yang membuat burjo tahan lama atau karena santannya dipisah jika beli dibawa pulang.

Kang Asep Supriatna (dokumen pribadi)
Kang Asep Supriatna (dokumen pribadi)
Saya berpendapat, pria beristri perempuan asal Brebes ini jualan sembari beramal. Karena dia tak pernah menolak pembeli bila hanya mempunyai uang seribu rupiah. Masyaallah. Dan tahukah brader, bila awal dia jualan burjo ditahun 2006, limaratus rupiah harga yang ditawarkan. 

Lambat laun naik jadi seribu dan berhenti pada harga sekarang. Lima belas tahun cukup menjadi bukti bahwa bubur kacang ijo mampu menghidupi anak istri. Bisa jadi Gemi setiti ngati-ati falsafah hidupnya. Gemi kata lain dari hemat. Setiti(nastiti) itu teliti. Sedangkan ngati-ati yaitu hati-hati.


"Nggak alih profesi, mas?"

"Belum kepikiran. Begini sudah enak"

Pola pikirnya sederhana. Dia jualan ya jualan saja. Hari ini dapat segini ya diterima. Tuhan tidak pernah keliru ketika menyebar rahmatNya. Istilah zona nyaman yang nge-trend beberapa tahun lalu dalam kalimat: 'Jangan terlena dengan zona nyaman' tidak berlaku buatnya. Sampai sekarang dia nyaman menikmati hidup dan belum mau pindah haluan.

Barisan donat mengisi kabin atas. Harganya  500 rupiah/biji (Dokumen pribadi)
Barisan donat mengisi kabin atas. Harganya  500 rupiah/biji (Dokumen pribadi)

Dulu sebelum pasar Legi terbakar-sekarang dalam masa pembangunan, Asep Supriatna menggelar dagangannya didalam areal pasar. Tepatnya depan masjid Nurul Fallah. Untuk sementara, tonggak dagangannya dipancang di depan bank Panin, berderet-deret dengan kuliner lain. Apakah pria sederhana itu akan kembali ke lokasi sebelumnya bila pembangunan pasar Legi selesai? Entah. Walaupun menurut keterangan, dirinya sudah didata petugas lapangan. 

Kalau biasanya bubur kacang ijo bermunculan dipagi hari, Asep Supriatna melakukan eksistensi di sore hari sekitar jam 17.00 WIB. Dia akan umbarkan senyum bila pelanggan tiba menanti.[**]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun