Dan itu belum saya dapatkan. Karena masalah selera akan menjadi perdebatan. Namun, kalau hanya mendekati ideal, saya sampirkan pada bubur kacang ijo pak Ateng. Lelaki asal Mojo(pinggiran timur Solo) ini hasil racikannya mengena. Cuma, santannya kurang gurih, kurang kental.Â
Pak Ateng selalu standby di perempatan jalan Kalilarangan-diiris jalan Gatot Subroto. Sudah bisa dipastikan, sebelum jam sembilan pagi sudah kukut(berkemas). Karena ia menggunakan lahan depan toko.
Disamping pak Ateng, bubur kacang ijo bikinan satu diantara pemuda Sragen-mas Muslim-merupakan favorit saya. Burjonya lezat. Hingga sekarang, saya merasa olahannya itu masih menempel dilidah. Kesannya baru kemarin menyantapnya. Padahal sudah bertahun lampau.
Di Soloraya, penjual bubur kacang ijo betebaran disegala sudut kota. Dengan mematok harga rata-rata limaribu rupiah pembeli menyerbu dengan antusias. Saya kurang begitu tahu kenapa kok bisa seragam.Â
Apakah mereka sepakat tanpa bertemu, tapi menjadikan limaribu sebagai harga paling pantas? Walaupun begitu saya pernah mendapati bubur kacang ijo dijual tigaribu rupiah per mangkok di daerah Pengging Boyolali. Rasanya? Maaf brader, tidak sesuai ekspektasi.
Yang mengejutkan, dengan duaribu rupiah, semangkok burjo bisa mengisi lambungmu bila bertemu Asep Supriatna. Lelaki berputra satu ini mematok dagangannya dibawah rata-rata.
"Untungnya berapa mas? kalau dijual segitu?"
"Ya, sedikit", jawabnya sambil mengikat ujung kantong plastik.
"Bukankah harga limaribu sudah umum?", Tanyaku, "Masnya tahukan?"
"Iya, mas. Di sini(Solo) semuanya memang segitu"
"Kenapa tidak dinaikkan?", Saranku.