“Biar kah, Ine. Siapa tahu mereka mau jadi atlet peselancar”
“Hmmm...”
Saya sadar, orang Flores umumnya belum familiar dengan olahraga menunggangi ombak ini. Bahkan tidak banyak atlet surfing terkenal dari NTT. Mungkin terlanjur risih dengan model berpakaian Alana Blanchard, atlet peselancar dunia sekaligus cover majalah surfing itu.
Perempuan paruh baya itu tidak lagi memancing. Umpan ikan yang sudah diiris-iris dibuang saja ke laut, dan mata kail dibiarkan tenggelam dengan tali senar. Ia berpaling, memandang saya dengan muka masam.
“Anak-anak itu mengganggu istrahat siang saya. Di sini rumah saya. Saya berhak mengusir siapa pun, termasuk kau, nak”, katanya. Lalu menghilang.
Saya mengambil batu sebesar biji kalereng, melemparkannya ke laut dan dalam hati mengujar kata pamit.
Saya meneruskan perjalanan, seturut perintah teman dalam pesan singkat. Menanjak naik lewat Desa Kezewea. Menikmati hamparan sawah yang masih menghijau di Golewa Selatan, menyusuri jalan aspal sepanjang pesisir pantai Boba, menembus jalan berbatu-batu, yang baru saja digusur.
Saya akhirnya tiba juga di Desa Wogowela, salah satu desa di wilayah pantai selatan Ngada. Teman-teman sudah menunggu dengan ikan bakar, pisang rebus dan minuman arak Boba (minuman beralkohol dari Kampung Boba, Ngada).
***
Pagi menjelang tiba, bias-bias merah ranum di ufuk timur. Saya tersadar sejenak tanpa sedikit pun takut, apalagi gelisah. Kuyakinkan diri, ini hanya mimpi saat lelah menyerang, lalu memaksa raga tidur pulas di sebuah pondok di Nangaroro, sisi kanan jalur Ende-Bajawa.
=======
Catatan: eja (sapaan akrab untuk sesama teman lelaki, Ende), Ine (sapaan untuk ibu, Ende)