Mohon tunggu...
Warisan Literasi Mama
Warisan Literasi Mama Mohon Tunggu... Freelancer - Meneruskan Warisan Budaya Literasi dan Intelektual Almarhumah Mama Rohmah Tercinta

Mama Rohmah Sugiarti adalah ex-writerpreneure, freelance writer, communications consultant, yogini, dan seorang ibu yang sholehah dan terbaik bagi kami anak-anaknya. Semoga Mama selalu disayang Allah. Alfatihah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lelucon Etimologi Politik Dinasti Jokowi dan Kebingungan Gibran

25 Juli 2020   11:04 Diperbarui: 25 Juli 2020   16:40 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dialog Imajiner Antar Sosok -- Ivan Sagito  - Sumber Foto: lukisanku.id

Kita harus berterimakasih kepada putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, atas maraknya perbincangan mengenai politik dinasti yang kini merebak kemana-mana.Karena Pencalonan Gibran itulah maka memunculkan berbagai macam diskusi dan perdebatan yang boleh jadi akan mendewasakan baik dari sisi ilmiah hingga sisi-sisi lelucon semata.

Ada yang melontarkan pendapat dengan berbagai bekal bukti-bukti ilmiah, teori-teori politik, hukum, ketatanegaraan, demokrasi dan banyak lainnya, ada juga yang melontarkan dagelan-dagelan yang kocak, konyol namun tetep bisa menyentil kesadaran politik kita semua.

Di luar perdebatan dan diskusi yang meruncing dimana-mana, sepertinya tidak ada titik temu yang memberikan kepastian tentang apakah Presiden Jokowi telah melakukan politik dinasti ataukah tidak.

Meskipun sudah banyak pakar bicara, pengamat menganalisa, politisi mengkritisi, dan rakyat biasa yang bercuap-cuap, tetap saja masalah ini terpuruk di wilayah abu-abu (grey area) yang tidak jelas kesimpulannya.

Masing-masing benar sesuai dengan sudut pandang dan pemikirannya masing-masing, tanpa bisa disepakati apa yang semestinya dipastikan sebagai ketentuan tetap dan pelajaran bagi di masa depan demokrasi dan politik bangsa ini.

Jujur saja saya tidak terlalu menikmati pergolakan pemikiran yang terjadi mengenai politik dinasti kali ini kecuali ikut tertawa geli terhadap analogi-analogi lucu namun cerdas yang bisa menghibur hati.


Misalnya sebuah dialog imajiner yang dituliskan Djatmiko Tanuwidjojo dalam menanggapi polemik politik dinasti kali ini. Untuk menggambarkan perselisihan pemikiran yang kali ini tengah terjadi, Djatmiko Tanuwidjojo secara apik mencoba menggambarkannya melalui dialog imajiner antara dirinya dan Jokowi.

Melalui tokoh A yang boleh jadi bisa sebagai penggambaran akan dirinya, Djatmiko mencoba memaparkan apa yang dipercaya Jokowi tentang politik dinasti ini. Tentu saja ini hanyalah fiksi yang tidak bisa dijadikan landasan ilmiah dalam hukum yang sah.

Apapun istilahnya untuk ini, yang jelas beginilah dialog imajiner tersebut:  

A: "Pak, dulu anda pernah menyatakan tak suka nepotisme dan tak setuju politik dinasti, mengapa sekarang anak bapak disokong untuk maju menjadi calon walikota? Bukankah itu nepotisme dan membangun politik dinasti yang dulu Bapak tolak?"

B: "Wawasan sampeyan kurang tepat dan kurang luas. Coba sampeyan cek asal usul kata nepotisme. Kata itu diambil dari bahasa latin "nepos", artinya keponakan. Lha yang maju nyalon itu anak saya, bukan keponakan, kok dibilang nepotisme, piye to? Saya ini orang yang taat etimologi."

A: "Tapi kan itu namanya  politik dinasti Pak?"

B: "Nah ini lagi, saya sarankan belajar bahasa dan sejarah yang bener. Coba cek kata dinasti itu muncul dalam konteks apa? Era feudal dan monarki imperial bukan? Asal mula arti kata dinasti itu kan mampu atau orang yang menguasai dan memiliki satu wilayah tertentu, kemudian menjadi turun temurun membentuk wangsa, klan, dll. Memangnya saya memiliki satu kawasan seluas negara? Saya ini bukan raja yang duduk di tahta, dan negara ini bukan kerajaan. Jadi di mana konteks dinastinya? Sekali lagi, saya  ini orang yang taat etimologi, paham ndak sampeyan?"

A: "Di luaran orang tetap menganggap ini nepotisme dan politik dinasti Pak?"

B: "Ya biarin saja. Lha wong saya ini tertib etimologi."

A: "Tapi kan ada perkembangan makna  dalam bahasa seiring perjalanan waktu Pak?"

B: "Ya biarin saja, saya ini konservatif dalam soal etimologi kok, mosok ndak boleh heh heh heh.

Gibran Rakabuming Raka dipastikan maju Pilkada Solo 2020 - Sumber Foto: solopos.com
Gibran Rakabuming Raka dipastikan maju Pilkada Solo 2020 - Sumber Foto: solopos.com
Nah, bagaimana menurut Anda? Menurut saya sih dialog imajiner ini sangat menarik dan kritis untuk membedah satu sisi permasalahan yang terjadi. Dimana jika mengacu pada dialog imajiner Djatmiko Tanuwidjojo ini, maka apa yang dipikirkan Jokowi adalah benar-benar saja.Repotnya kebenaran tersebut boleh jadi hanya untuk dirinya sendiri atau untuk golongan yang mendukungnya semata. Sementara itu pendapat-pendapat yang berlawanan banyak mengambil dari sudut pandang etik, psikologis, humaniora, sosial dan lain sebagainya.

Karena banyaknya pendapat yang berbeda inilah maka kita bisa memaklumi ketika dalam sebuah webinar, Gibran mengaku bingung atas tuduhan politik dinasti yang ditimpakan kepada bapaknya karena pencalonan dirinya.

Sekali lagi Gibran menegaskan apa yang pernah dipaparkan Jokowi bahwa ajang Pilwalkot Solo benar-benar merupakan sebuah ajang kontestasi, bukan penunjukan langsung.  

"Saya kan ikut kontestasi bisa menang, bisa kalah, tidak harus diwajibkan memilih saya. Bisa dipilih, bisa tidak, bisa dicoblos, bisa tidak," ujar Gibran meyakinkan.

"Jadi tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya, ini kan kontestasi, bukan penunjukan. Jadi, kalau yang namanya dinasti politik, di mana dinasti politiknya. Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu," tambahnya dalam webinar bertajuk Calon Kepala Daerah Muda Bicara Politik Dedikasi, Motivasi, hingga politik dinasti, yang digelar PDIP Jumat (24/7) kemarin.

Gibran mengaku bingung di bagian mana yang disebut politik dinasti atas pencalonan dirinya tersebut. Ia menyakini bahwa isu politik dinasti itu hanya dihembuskan oleh lawan politik yang tidak menginginkan dirinya menang.

"Kalau yang masih meributkan dinasti politik itu kan ya dari, ya kita tahu orang-orangnya siapa, dan yang diributkan itu itu saja," ujar Gibran berharap orang-orang mengerti tentangnya.

Namun Gibran yakin bahwa isu pilitik dinasti tersebut tidak akan menggerus dukungan masyarakat kepada dirinya, karena masyarakat Solo memiliki kesepahaman yang sama dengannya mengenai politik dinasti tersebut.

Keyakinan Gibran tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa dirinya selalu disambut antusias oleh warga Solo ketika melakukan blusukan ke pelosok-pelosok Solo.

Seperti galibnya kandidat pilkada lainnya maupun politisi-politi pada umumnya sekali lagi Gibran juga mengungkapkan bahwa alasannya untuk beralih jalan perjuangan dari bisnis ke politik adalah untuk membantu lebih banyak orang. Tentu saja jauh lebih banyak bisa membantu orang daripada jika dirinya hanya terus berjualan martabak.

"Kalau saya masuk ke politik, yang bisa saya sentuh, kalau di Solo ya 500.000-an orang yang bisa saya sentuh melalui kebijakan-kebijakan saya," jelas Gibran meyakinkan.

Sepakatkah Anda bahwa jalur politik lebih banyak bisa membantu masyarakat dibandingkan jalur-jalur lainnya? Monggo silahkan dilanjutkan polemik ini jika masih dianggap menarik. Siapa tahu masih ada lelucon-lelucon menarik yang bisa kita tertawakan bersama dengan penuh bahagia. Tabik.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun