Petualangan Koin AjaibÂ
Di Gang Mawar, Bima dikenal berbeda. Alih-alih memamerkan sepeda baru, ia setia pada Jago, celengan ayam jagonya. Setiap koin seribu yang masuk ke perut Jago adalah sebentuk mimpi sepeda BMX merah menyala yang semakin dekat.
Suatu sore, saat koin terakhir mengisi perut Jago, Bima mendengar suara aneh di luar. Bukan derit roda gerobak donat Pakde Anto yang riang, melainkan suara ban kempis yang diseret. Pakde Anto, pahlawan donat bagi Bima, tampak lesu mendorong gerobaknya. Donat Pakde bukan sekadar camilan enak, tapi juga jembatan kebaikan, karena sebagian hasilnya selalu disumbangkan ke panti asuhan di ujung desa.
"Pakde, kenapa gerobaknya?" tanya Bima, iba melihat ban yang kempes.
Senyum Pakde Anto getir. "Ban ini sudah tua, Bim. Rusak, dan tabungan Pakde belum cukup untuk memperbaikinya. Padahal, anak-anak panti sudah menunggu donat."
Hati Bima mencelos. Ia teringat Jago, kunci kebahagiaan pribadinya. Sepeda impiannya seolah melayang menjauh. Namun, kata-kata Pakde Anto menghadirkan gambaran lain: anak-anak panti dengan senyum ceria dan mata penuh harap saat menerima donat hangat.
Tanpa ragu, Bima berlari ke kamar, meraih Jago, memeluknya sejenak, lalu menjatuhkannya ke lantai. PRRAAANNNNNNKK! Pecahannya memecah sunyi sore itu. Koin-koin perak berhamburan, berkilauan bagai kepingan bulan. Sambil merasakan dinginnya koin di telapak tangan, Bima menghitungnya. Jumlahnya lebih dari cukup.
"Ini, Pakde!" Bima menyodorkan tas kain berisi koin. Pakde Anto menolak. "Jangan, Bima. Itu uangmu. Bapak tidak enak hati."
"Uang ini bukan hanya untuk Bima, Pakde," jawab Bima tulus. "Tapi untuk kebaikan. Gerobak Pakde membawa banyak kebaikan untuk anak-anak."
Pakde Anto menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, lalu menerima tas itu tanpa berkata apa pun.