Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petualangan Koin Ajaib

28 Agustus 2025   11:24 Diperbarui: 28 Agustus 2025   11:24 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar ilustrasi oleh canva desain

Petualangan Koin Ajaib 

Di Gang Mawar, Bima dikenal berbeda. Alih-alih memamerkan sepeda baru, ia setia pada Jago, celengan ayam jagonya. Setiap koin seribu yang masuk ke perut Jago adalah sebentuk mimpi sepeda BMX merah menyala yang semakin dekat.

Suatu sore, saat koin terakhir mengisi perut Jago, Bima mendengar suara aneh di luar. Bukan derit roda gerobak donat Pakde Anto yang riang, melainkan suara ban kempis yang diseret. Pakde Anto, pahlawan donat bagi Bima, tampak lesu mendorong gerobaknya. Donat Pakde bukan sekadar camilan enak, tapi juga jembatan kebaikan, karena sebagian hasilnya selalu disumbangkan ke panti asuhan di ujung desa.

"Pakde, kenapa gerobaknya?" tanya Bima, iba melihat ban yang kempes.

Senyum Pakde Anto getir. "Ban ini sudah tua, Bim. Rusak, dan tabungan Pakde belum cukup untuk memperbaikinya. Padahal, anak-anak panti sudah menunggu donat."

Hati Bima mencelos. Ia teringat Jago, kunci kebahagiaan pribadinya. Sepeda impiannya seolah melayang menjauh. Namun, kata-kata Pakde Anto menghadirkan gambaran lain: anak-anak panti dengan senyum ceria dan mata penuh harap saat menerima donat hangat.

Tanpa ragu, Bima berlari ke kamar, meraih Jago, memeluknya sejenak, lalu menjatuhkannya ke lantai. PRRAAANNNNNNKK! Pecahannya memecah sunyi sore itu. Koin-koin perak berhamburan, berkilauan bagai kepingan bulan. Sambil merasakan dinginnya koin di telapak tangan, Bima menghitungnya. Jumlahnya lebih dari cukup.

"Ini, Pakde!" Bima menyodorkan tas kain berisi koin. Pakde Anto menolak. "Jangan, Bima. Itu uangmu. Bapak tidak enak hati."

"Uang ini bukan hanya untuk Bima, Pakde," jawab Bima tulus. "Tapi untuk kebaikan. Gerobak Pakde membawa banyak kebaikan untuk anak-anak."

Pakde Anto menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, lalu menerima tas itu tanpa berkata apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun