Di Ujung Lorong
Klaten, Jawa Tengah.
Malam menyusup pelan ke sela-sela tembok salah satu Sekolah Dasar yang mulai renta. Sekolah dasar yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun itu biasanya sepi begitu bel berbunyi pukul 14.00. Tapi malam itu berbeda.
Pak Adi, seorang guru honorer muda, masih terlihat di ruang seni. Tangan kanannya sibuk memotong kardus, mengecat, dan menempel kain flanel untuk properti pentas seni anak-anak kelas 4. Lampu neon tua menggantung redup di atas kepalanya, mengayun perlahan tertiup angin.
“Tinggal backdrop candi, sama wayang anak-anak. Besok harus jadi,” gumam Pak Adi, mencoba membangkitkan semangat diri di tengah kantuk dan lelah.
Waktu menunjukkan 23.45 saat ia melangkah ke gudang belakang dekat toilet lama, tempat kardus besar disimpan. Lorong itu sempit dan gelap, hanya satu lampu di ujung yang menyala redup seperti nyawa terakhir lilin.
Redup nyala lilin, seperti tertiup angin, secara perlahan lahan semakin lama semakin menyusut dan meredup. Pak Adi merasakan bulu kuduk mulai mberdiri, merinding dimulai dari leher belakang. Situasi nampak tegang, ditambah dengan aroma yang tak sedap, dan ada bau yang cukup menyengat itu seperti bau minyak serimpi yang biasa dipakai untuk jenasah. Saat matanya menyapu sudut lorong, ia terhenti. Hatinya tercekat, badanya kaku, lidahnya kelu. Ia beranikan diri untuk mentapa lebih tajam, sambil memicingkan mata agar lebih fokus pandangannya diarahkan ke sudut ruangan kemudainke arah lorong gelap itu.
Di sana… di dekat pintu toilet yang retak, ada sosok putih berdiri diam.
Seperti seseorang... atau sesuatu, dibungkus kain panjang, menjuntai... kotor.
Pak Adi mengerjap.
“Astaghfirullah... siapa itu?”