Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Berdaun Luka

2 Agustus 2025   00:30 Diperbarui: 2 Agustus 2025   00:30 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi dibuat oleh canva desain

Disebuah desa kecil yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, tumbuhlah dua jiwa yang saling mengisi sejak masa kecil: Doni dan Selvy. Mereka bukan hanya teman, tapi belahan jiwa yang saling memahami tanpa harus banyak berkata.

Doni hidup bersama neneknya, dalam rumah bambu beratap rumbia, namun hatinya bersih seperti embun pagi. Ia miskin harta, tapi kaya cita dan rasa. Sementara Selvy adalah gadis pintar, anak dari keluarga terpandang di desa itu. Ia lembut, bersahaja, dan satu-satunya yang tak pernah memandang Doni dari sebelah mata.

Hari-hari mereka dipenuhi canda di pematang sawah, tawa di bawah pohon randu, dan diam-diam tumbuhlah cinta yang perlahan tapi kuat, seperti pohon yang berakar dalam tanah yang keras.

Meski hatinya penuh cinta, Doni tak ingin hanya menggantungkan harapan. Selepas SMA, ia memutuskan tak kuliah. Ia memilih bekerja keras. Ia menggambar, melukis dengan bahan seadanya, menjualnya di pasar kecil, dan merintis kanal YouTube sederhana yang merekam kehidupannya sebagai seniman desa. Satu demi satu, karyanya mulai dikenal. Subscriber bertambah, undangan pameran kecil berdatangan, namun ia tetap hidup hemat. Tabungannya ia belikan sebidang tanah, sisanya ia investasikan dalam ternak kambing yang ia titipkan ke teman lamanya di luar desa.

Selvy, sebaliknya, melanjutkan kuliah di kota. Jarak tak membuat cinta mereka pudar. Mereka setia berkirim surat setiap minggu. Kata demi kata mereka adalah benih rindu yang ditanam dalam keyakinan: suatu saat, cinta ini akan tumbuh menjadi rumah yang utuh.

Hari itu, Selvy diwisuda. Aula kampus penuh dengan bunga dan senyum kebanggaan. Doni datang mengenakan baju terbaik yang ia miliki: kemeja putih bersih, celana bahan, dan sepatu bekas yang disemir semalaman. Di tangannya ada lukisan: seorang perempuan dengan toga, berdiri di antara hujan, memegang bunga yang tak layu.

Selvy "Mas Doni... kamu datang juga. Aku... bahagia sekali."

Doni *Aku nggak punya bunga mahal. Tapi ini... perasaanku. Mawar ini, sekuat kamu. Tetap mekar meski diterpa badai."

Selvy "Aku lebih suka ini. Karena ini kamu."

Namun suasana berubah saat ibu Selvy datang, menggandeng seorang wanita sosialita. Anak wanita itu Rio berpenampilan mewah dan berwibawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun