Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter, Jargon, Ketidak tepatan dan Harapan yang Tersisa

24 Juli 2025   15:10 Diperbarui: 24 Juli 2025   15:10 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar ilustrasi dari canva desain

Pendidikan Karakter: Antara Jargon, Ketidaktepatan, dan Harapan yang Tersisa

Oleh: Rohmadi,SPd

Pendidikan karakter , sebuah frasa yang kian akrab di telinga kita. Spanduk besar bertuliskan nilai-nilai luhur seperti religius, jujur, disiplin, toleransi, dan gotong royong gagah terpampang di gerbang sekolah dasar. Kurikulum pendidikan karakter digadang-gadang sebagai jawaban atas krisis moral bangsa. Namun, di balik jargon dan formalitas yang rapi, sudahkah pendidikan karakter benar-benar menyentuh esensi hati nurani anak-anak kita? Atau jangan-jangan, ia hanya menjadi seremonial kosong yang justru merenggut makna sesungguhnya?

Sebagai seorang pemerhati pendidikan, saya melihat ada beberapa titik kritis yang perlu disoroti tajam dalam praktik pendidikan karakter di jenjang sekolah dasar saat ini. Jika tidak segera dibenahi, pendidikan karakter yang sejatinya mulia ini justru berpotensi menjadi bumerang bagi masa depan generasi.

1. Pendidikan Karakter masih Sekadar Jargon dan Formalitas

Realitas di lapangan menunjukkan jurang lebar antara visi dan implementasi. Nilai-nilai karakter memang tercantum indah di dinding sekolah, mading, atau bahkan dalam visi dan misi lembaga. Namun, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar diintegrasikan dalam napas pembelajaran dan budaya sekolah?

Seringkali, momen seperti upacara bendera menjadi satu-satunya sarana "penanaman nilai". Anak-anak diajak mengucapkan janji, menyanyikan lagu kebangsaan, atau mendengarkan ceramah. Namun proses refleksi dan internalisasi nilai kerap absen. Nilai-nilai itu hanya berhenti di lisan, tak menembus perilaku. Ini bukan pembentukan karakter  ini ritual pengucapan karakter.

2. Hukuman Menggantikan Keteladanan dmana Pola Usang yang Masih Dipelihara

Ironisnya, alih-alih membangun karakter melalui pembiasaan dan keteladanan, banyak guru dan institusi masih menggunakan pendekatan hukuman bahkan hukuman fisik dan psikologis  saat siswa dianggap melanggar nilai.

Contohnya: anak yang terlambat sekolah atau lupa PR langsung diberi hukuman membersihkan toilet. Padahal, belum tentu ia memahami nilai disiplin itu sendiri. Tanpa pembinaan yang menyentuh akar masalah, pendekatan ini hanya menumbuhkan rasa takut, bukan kesadaran. Tanpa keteladanan yang kuat dari guru, nilai hanya menjadi tekanan, bukan inspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun