3. Cara Belajar Anak SD yang Diabaikan lebihke Ceramah Ketimbang Pengalaman
Anak usia sekolah dasar belajar lewat bermain, pengalaman, dan interaksi konkret. Namun sayangnya, mereka justru dijejali ceramah panjang tentang etika, moral, dan budi pekerti yang terlalu abstrak.
Bagaimana anak bisa memahami makna gotong royong tanpa benar-benar diajak membersihkan kelas bersama? Bagaimana mereka bisa belajar toleransi jika tidak merasakan keberagaman dalam kelompok bermainnya? Lebih parah, anak dari latar belakang ekonomi lemah kadang dicap “tidak berkarakter” hanya karena tidak sesuai standar nilai kelas menengah. Ini kekeliruan fatal.
4. Seragam di Tengah Keunikan dg Pendekatan “One-Size-Fits-All” yang Tidak Adil
Setiap anak unik. Latar belakang keluarga, budaya, dan kondisi psikologis berbeda-beda. Namun banyak program karakter menerapkan penghargaan dan hukuman yang seragam.
Anak introvert dianggap tak peduli karena tidak aktif di kegiatan ramai. Padahal, empati dan kontribusinya mungkin hadir dalam bentuk kecil yang tidak kasat mata. Sistem seragam ini mereduksi karakter menjadi sekadar perilaku tampak, bukan kesadaran mendalam.
5. Orang Tua dan Komunitas mrupakan Pilar Terabaikan
Karakter bukan monopoli sekolah. Keluarga dan masyarakat adalah lingkungan utama pembentuk karakter anak. Namun, banyak sekolah melupakan sinergi ini.
Sekolah melarang kekerasan, tetapi anak tumbuh di rumah yang penuh bentakan. Sekolah mengajarkan empati, tetapi lingkungan sosialnya justru mengagungkan kekuasaan dan kompetisi. Tanpa pelibatan keluarga dan komunitas, karakter hanya akan menjadi kebingungan konseptual bagi anak.
Dampak Negatif: Pendidikan Karakter yang Keliru Justru Merusak