Makna karakter menjadi tempelan rapor: tidak membentuk kepribadian sejati.
Ketimpangan moral: yang tampak “berkarakter” belum tentu berintegritas.
Keterputusan nilai: nilai tidak tumbuh dari kesadaran, tapi dari tekanan.
Conth Kasus Representatif
Ilustrasi 1: Siswa SD wajib mengikuti kegiatan karakter pukul 6 pagi (berdoa, senam, membaca puisi). Ia melakukannya setiap hari dengan ekspresi bosan dan lelah bukan karena mengerti, tapi karena takut dimarahi.
Ilustrasi 2: Seorang siswa dianugerahi “paling jujur” di sekolah. Namun di rumah, ia terbiasa memanipulasi informasi untuk menghindari hukuman. Ini menunjukkan disonansi antara "karakter simbolik" dan karakter sesungguhnya.
Membangun Kembali: Solusi Humanis, Kontekstual, dan Berbasis Teknologi
1. Keteladanan sebagai Fondasi
Karakter dibentuk dari apa yang anak lihat setiap hari. Guru, kepala sekolah, dan staf harus konsisten menampilkan karakter yang diajarkan. Tanpa itu, semua teori menjadi ilusi.
2. Pendekatan Kontekstual dan Humanis
Metode harus disesuaikan dengan latar belakang siswa. Guru perlu memahami emosi, kondisi keluarga, bahkan trauma anak. Empati mendahului metode.
3. Proyek Nyata dan Refleksi
Libatkan anak dalam proyek konkret bersih kelas, bantu teman sakit, diskusi damai. Lalu ajak mereka merefleksikan nilai yang dirasakan.
4. Sinergi Kuat dengan Keluarga dan Masyarakat
Adakan forum orang tua, pembekalan nilai bersama, kunjungan rumah, dan kegiatan lintas komunitas. Pendidikan karakter tidak boleh sendirian.