Wassalamu'alaikum,
Raka Wibisana.
Setelah membaca surat itu... Pak Adi terdiam. Surat itu mengguncang hatinya. Jemarinya gemetar, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ada rasa bersalah, ada keharuan, dan ada sesuatu yang sangat dalam... sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.Ia merasa kecil. Sangat kecil.
Beberapa bulan kemudian, kabar duka datang.
Pak Raka, suami Bu Rinda, berpulang dalam damai di sebuah rumah sakit. Tidak banyak yang tahu, hanya keluarga dan segelintir sahabat dekat. Bu Rinda datang ke sekolah dengan mata sembab namun tetap mengajar seperti biasa. Tak ada pelukan, tak ada tangisan yang diumbar. Ia wanita kuat, dan Pak Adi tahu, luka di hatinya lebih dalam dari yang tampak.
Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, mereka duduk berdua di bangku halaman belakang sekolah, tanpa kata.
Angin sore membelai lembut.
“Pak Raka... pernah menulis surat untuk saya,” kata Pak Adi perlahan.
Bu Rinda menoleh, diam.
“Beliau meminta saya... untuk tidak meninggalkan panjenengan. Bukan sebagai pengganti. Tapi sebagai teman... yang setia.”
Bu Rinda menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Tangannya menggenggam ujung bajunya dengan gemetar.
“Saya... belum siap, Pak,” ucapnya pelan.