Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Serpihan Rindu Yang Hilang

6 Juli 2025   09:17 Diperbarui: 6 Juli 2025   11:18 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan dari desain canva oleh Asta lima pro

Wassalamu'alaikum,
Raka Wibisana.

Setelah membaca surat itu... Pak Adi terdiam. Surat itu mengguncang hatinya. Jemarinya gemetar, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ada rasa bersalah, ada keharuan, dan ada sesuatu yang sangat dalam... sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.Ia merasa kecil. Sangat kecil.

Beberapa bulan kemudian, kabar duka datang.

Pak Raka, suami Bu Rinda, berpulang dalam damai di sebuah rumah sakit. Tidak banyak yang tahu, hanya keluarga dan segelintir sahabat dekat. Bu Rinda datang ke sekolah dengan mata sembab namun tetap mengajar seperti biasa. Tak ada pelukan, tak ada tangisan yang diumbar. Ia wanita kuat, dan Pak Adi tahu, luka di hatinya lebih dalam dari yang tampak.

Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, mereka duduk berdua di bangku halaman belakang sekolah, tanpa kata.

Angin sore membelai lembut.

“Pak Raka... pernah menulis surat untuk saya,” kata Pak Adi perlahan.

Bu Rinda menoleh, diam.

“Beliau meminta saya... untuk tidak meninggalkan panjenengan. Bukan sebagai pengganti. Tapi sebagai teman... yang setia.”

Bu Rinda menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Tangannya menggenggam ujung bajunya dengan gemetar.

“Saya... belum siap, Pak,” ucapnya pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun