Bagian 2: Surat yang Tak Pernah Terkirim
Malam itu, angin berhembus pelan menyusup dari celah jendela. Pak Adi duduk di lantai kamarnya yang sederhana, hanya berlampu redup. Di depannya, secarik kertas kosong yang mulai terisi dengan tinta hatinya. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena isi surat itu bukan sekadar tulisan melainkan isi hati yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Dengan sangat keterpaksaan, dan dihantui rasa bersalah, keinginan kuat kembali mencuat agar hal ini tidak mengganggunya lagi setiap malam... Akhirnya dengan dada sesak mulai menulis....
“Bu Rinda…
Entah mengapa, saya merasa ingin menulis ini.
Saya tahu saya tidak pantas. Saya hanya guru honorer, dengan hidup yang seadanya. Tapi selama ini, perhatian dan ketulusan Bu Rinda telah menjadi cahaya di hari-hari saya yang gelap.
Saya sering merasa... saya bukan siapa-siapa, tapi dengan kebaikan Bu Rinda, saya merasa dihargai, dimanusiakan.
Saya menyadari ini mungkin salah. Tapi saya hanya ingin berterima kasih. Terima kasih telah membuat saya kuat, di saat saya ingin menyerah.
Terima kasih… karena telah hadir dalam hidup saya, meski sebentar.”
Surat itu selesai. Kemudian keesokan harinya, pak Adi berangkat lebih awal Namun pagi itu situasi berbicara lain, ketika berangkat kerja motornya kembali mogok...belum lagi ban motornya kempis...