Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Serpihan Rindu yang Hilang

5 Juli 2025   06:08 Diperbarui: 6 Juli 2025   23:57 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi dari album astalima pro dengan desain canva 

Bagian 2: Surat yang Tak Pernah Terkirim

Malam itu, angin berhembus pelan menyusup dari celah jendela. Pak Adi duduk di lantai kamarnya yang sederhana, hanya berlampu redup. Di depannya, secarik kertas kosong yang mulai terisi dengan tinta hatinya. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena isi surat itu bukan sekadar tulisan melainkan isi hati yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

Dengan sangat keterpaksaan, dan dihantui rasa bersalah, keinginan kuat kembali mencuat agar hal ini tidak mengganggunya lagi setiap malam... Akhirnya dengan dada sesak mulai menulis.... 

“Bu Rinda…

Entah mengapa, saya merasa ingin menulis ini.

Saya tahu saya tidak pantas. Saya hanya guru honorer, dengan hidup yang seadanya. Tapi selama ini, perhatian dan ketulusan Bu Rinda telah menjadi cahaya di hari-hari saya yang gelap.

Saya sering merasa... saya bukan siapa-siapa, tapi dengan kebaikan Bu Rinda, saya merasa dihargai, dimanusiakan.

Saya menyadari ini mungkin salah. Tapi saya hanya ingin berterima kasih. Terima kasih telah membuat saya kuat, di saat saya ingin menyerah.

Terima kasih… karena telah hadir dalam hidup saya, meski sebentar.”

Surat itu selesai. Kemudian keesokan harinya, pak Adi berangkat lebih awal Namun pagi itu situasi berbicara lain, ketika berangkat kerja motornya kembali mogok...belum lagi ban motornya kempis...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun