Mohon tunggu...
Robertus Widiatmoko
Robertus Widiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Menerima, menikmati, mensyukuri, dan merayakan anugerah terindah yang Kauberikan.

Indahnya Persahabatan dalam Kebersahajaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Penggondol

13 Desember 2019   12:45 Diperbarui: 13 Desember 2019   12:47 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasa pagi itu aku menghidupkan  sepeda motor tungganganku. Ia memang selalu setia menjadi teman seiring sejalan membawaku berlari ke tempat di mana aku mau. Entah sadar entah tidak sadar, ia sudah menjadi sahabat menghiasi hari-hari itu. Menemani langkah perjalanan menantang badai dan topan kehidupan.  Meski kadang jatuh tertiup angin dashyat yang sempat menghempaskan aku, ia menjadi garda depan penghalang musuh yang beringas, bengis, dan kejam. Dan  terlontar pun aku tak  jauh darinya. Cuma  bergeser sedikit ke samping meski mataku harus terpejam. Menahan rasa takut yang mencekam.

Suatu kali di musim penghujan aku terhenti di sebuah apartemen mewah. Di gerbang pintu masuk itu telah  berdiri seorang penjaga. Laki-laki tegap perkasa mengenakan baju serba hitam dan telepon genggam di saku bajunya. Rupanya ia mendapati seorang gadis jelita menangis tersedu-sedu. Angin berbisik mengantarku ke sana. Gadis itu terus menangis sesenggukan. Tak tahu apa yang telah terjadi. Hanya air mata itu terus berbicara.

Aku mencoba memberanikan diri mendekatinya dan kebetulan penjaga itu berada di dekatnya. "Maaf Dik, kalau boleh bertanya Adik ini siapa dan mengapa menangis di sini?"tanyaku. Gadis itu tak menjawab. Si penjaga menjelaskan kepadaku. "Barangkali ia sedang putus hubungan dengan kekasihnya, Kak. Pagi-pagi sekali saya dapati ia menunduk diam di situ" tuturnya. Aku berlagak sok tahu dan mengiyakan saja keterangannya.

Aku terus mengamat-amati gadis itu. Rambutnya hitam kemerah-merahan, tubuhnya memesona tak seorang pun pria akan melepas pandangannya. Tak terbantahkan. Lalu ada apa, lelaki mana yang tega menyakitinya. Aku dibikin penasaran. "Sekali lagi Dik, maaf apa ada yang bisa Kakak bantu? Hari makin bertambah siang. Mari Kakak antar pulang!"kataku. Perlahan ia memegang erat lengan tangan kananku dan beranjak mulai berdiri. Ia menyibakkan rambutnya ke samping dan akhirnya berdiri tegak. Hatiku tergoncang. Jantungku berdetak kencang. Aku pun mulai berkeringat. Kecantikannya luar biasa. Ia menghapus pelan-pelan  tetesan air matanya itu dengan lentik jemarinya. Mata indahnya terbuka lebar-lebar.

"Terima kasih Kak, untuk kebaikannya. Maaf, kalau Ananda sudah merepotkan Kakak. Kenalkan ...saya Siska. Mahasiswi tingkat akhir  tak jauh dari sini. Saya juga tidak tahu mengapa sampai ada di sini. Yang saya tahu, dia berjanji menjemputku di sini. Dan sudah 24 jam saya menantikan kedatangannya, namun dia tak kunjung datang." tuturnya. "Apakah semua lelaki mudah berjanji, tapi suka ingkar janji ya Kak?" lanjutnya. Ia kembali menangis. Ia biarkan kepalanya bersender di lenganku. Aku cukup terdiam sejenak. "Ya, barangkali ia lupa datang menjemputmu. Barangkali ia sibuk dengan pekerjaannya. Tak apalah, Kakak temenin sampai ia datang" ucapku berusaha menenangkannya.

Harapan tinggal harapan. Sampai di penghujung hari laki-laki itu memang tak menampakkan batang hidungnya. Dasar lelaki hidung belang. Kekasih yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. Aku dan dia beranjak pergi meninggalkan apartemen itu. Sepeda motor tungganganku melaju menyisir satu per satu tingkungan demi tingkungan. Berdua membawa lari kenangan dan menghempaskannya di kejauhan laut terdalam. Tak perlu ada lagi sedu sedan.  Pikiranku terus bergerilya. Titik --titik air hujan membasahi sekujur tubuh. Memadamkan hati antara benci dan rindu. Tak sengaja lingkar lengannya mengembalikan suhu badanku.

Dalam keterasingannya barangkali aku menjadi peran pengganti. Tak ada yang bisa berkata-kata, tak ada yang bisa mengelak takdir. Perjumpaan itu menjadi pintu masuk buat aku memenuhi harapannya. Berdua diam membisu. Hanya secangkir kopi hangat menemani keterdiaman itu.  Hujan terus mengguyur. Siska sudah kembali tenang. Ia tak mengira ada sang penggondol berhasil menyelamatkan hidupnya dari keterasingan.  Ada perasaan damai dan suka cita. Luka telah sirna.Guratan-guratan senyumnya memancar dari rona wajahnya. Sang penggondol itu telah membuka lembaran baru.

Hari baru tiba. Perjumpaan dengannya menjadi warna istimewa. Api terus bergelora menyulut cinta yang  membara. Aku menjejakkan langkahku penuh wibawa. Seraya mendekati pintu hatinya perlahan namun pasti jendela pun terbuka. Aku mendapati dia mulai menerima aku sepenuhnya. Sembari menghibas-hibaskan sayap-sayap cintanya ia menyodorkan senyumannya yang manis untukku."Setiap perempuan pasti tidak ingin tersakiti hatinya. Ia ingin betul-betul berjumpa cinta sejatinya. Seperti apa yang saya rasakan hari ini" katanya berbunga-bunga. "Iya cintaku, terima kasih untuk sambutan hangatmu" ucapku lembut penuh senyum rasa bangga.

Kebahagiaan itu tak sepenuhnya berjalan tanpa hambatan. Tak semulus jalan tol yang bebas hambatan. Hingga suatu saat tatkala itu aku dan dia berdebat seru hanya masalah foto. Makhlum dinding-dinding kamarku penuh dengan tempelan foto-foto artis ternama. Sudah sejak lama aku mengoleksi beberapa bintang ternama itu. Malah terhitung banyak. Dan ia melihat foto aku berduaan bersama dengan seorang perempuan cantik  tersembunyi di balik seabrek bintang hebat itu. Sontak, amarahnya meluap-luap.  Pikirannya berkecamuk. Ia marah besar, wajahnya mulai memerah. Hatinya remuk redam. Ia menghujani aku dengan seribu pisau yang menusuk sekujur tubuhku. Betul-betul ia naik pitam.

Sejurus kemudian ia merobek-robeknya dan mengepalnya rapat-rapat dan membuangnya ke dalam sebuah keranjang sampah. Koleksi para artisku ambyarrr bersama hembusan angin sore itu. Sesekali ia sesenggukan menahan tangis. Ia melempar semua kepalan sobekan foto itu ke arahku. Tak cukup itu. Ia memperlihatkan kepadaku tendangan mautnya. Ia mengarahkan tendangannya ke dadaku. Seketika aku berkelit ke samping. Eittts ...

Aku hanya terdiam dan menunggu saat yang tepat untuk mengklarifikasi semua itu. "Sudah cukup, Kak!" ujarnya. "Aku tak mau mengulang kembali omong kosong itu. Sudah sampai di sini saja. Ini yang terakhir" lanjutnya. Sepertinya ia mengalami trauma yang menyakitkan, namun aku mesti sabar. "Barangkali ini adalah ujian terbesar dalam  menaklukan cintaku" gumamku. Tak terbersit niatku untuk berbuat sekeji itu. Hanya salah paham saja. Tak ada gading yang tak retak. Semua akan baik-baik saja. Dan tak beberapa lama kemudian sampailah waktunya menjelaskan semua itu termasuk perempuan dalam foto itu. Yang tak lain adalah saudara kandungku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun