Mohon tunggu...
rkholil
rkholil Mohon Tunggu... -

~

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ada Uang Ada Korupsi; Investigasi di Kantor Imigrasi Yogyakarta

2 Oktober 2011   17:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada Uang Ada Korupsi; Investigasi di Kantor Imigrasi Yogyakarta

Tentang Korupi dan Uang

Kata Pram, korupsi itu uang. Korupsi adalah apa-apa yang berkaitan dengan uang. Terkesan terlalu menyederhanakan, memang. Namun, memang begitulah cara Pram, atau lengkapnya Pramoedya Ananta Toer, seorang Begawan Sastra Indonesia, menyampaikan kerisauan dan kritik sosialnya tentang korupsi di Indonesia yang seolah-olah telah membudaya. Bahkan, Pram pernah secara khusus menulis sebuah buku berjudul “Korupsi”.

Pernyataan Pram yang agak sarkastik dalam mendefinisikan korupsi ini, menggambarkan pula kritiknya tentang sistem uang. Sebuah kritik yang sekaligus dalam waktu yang sama, juga merupakan ungkapan realistis. Pernyataan ini menunjukkn bahwa pada masanya, Pram telah menyadari hubungan yang erat atara uang dan korupsi. Bisa jadi, saat barter masih menjadi sistem pertukaran yang umum, korupsi belum pula menjadi realita yang jamak.

Di mana ada uang, di situ ada korupsi. Saat ini, di mana-mana ada uang. Berarti, apakah di mana-mana juga bisa ditemukan praktik dan sikap korupsi? Bisa ya, dan bisa juga tidak. Sebab, korupsi selain berhubungan erat dengan uang, pada sisi lain juga berkelindan mesra dengan kemanusiaan. Korupi berakar kata dari bahasa Yunani; corruptio ,yang berarti sikap buruk dan degradasi moral. Perkembangan zaman dan kompleksitas hidup manusialah yang semakin lama semakin mengkomplekskan pula definisi dari korupsi. Saat manusia mulai mengenal sistem kekuasaan yang kuat, korupsi mulai dikaitkan dengan kekuasaan. Ungkapan seorang ilmuwan Inggris, Lord Acton, sangat masyhur dihapal oleh para akademisi; “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Lalu, pada era yang lebih kontemporer, Pram mengkaitkan korupsi dengan uang.

Yang penulis bahas di sini adalah korupsi dan bukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU (Undang-Undang). Menurut penulis, redaksi UU tidak bisa terlepas dari konteks dan tujuan UU tersebut disusun, yang dalam hal ini adalah untuk mendukung program pemberatasan korupsi di tingkat nasional melalui badan formal bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Jadi, jelas tidak semua praktik dan sikap korupsi sama dengan tindak pidana korupsi, yang dapat ditangani oleh KPK.

Tentu, keburukan dan kebaikan hanya ada pada tatanan sikap, yang bisa berubah, dan tidak terlekat kepada subjek. Kata orang bijak, “tidak ada rahib yang tidak punya masa lalu, dan tidak ada maling yang tidak punya masa depan”. Maka, walaupun di mana pun ada manusia dan uang, tidak selalu berarti di mana pun ada korupsi, seharusnya. Setidaknya, ini pikiran yang langsung tercetus di pikiran penulis saat mendatangi Kantor Imigrasi Yogyakarta.

Investigasi di Kantor Imigrasi Yogyakarta

Pada salahsatu sesi dari Pelatihan Jurnalisme Warga untuk Antikorupsi (CJAC II; Citizen Journalism for Anti Corruption Batch II) yang diselenggarakan oleh SIDAK (Sentra Informasi dan Data untuk Antikorupsi) di Balai Melayu, Yogyakarta, pertengahan Juli 2011, peserta melakukan praktik menginvestigasi dugaan praktik korupsi di berbagai instansi pemerintahan. Peserta dibagi menjad tiga tim yang masing-masing berangkat ke Kantor Imigrasi tentang pengurusan paspor, ke Polres tentang pengurusan SIM (Surat Izin Mengemudi), dan ke Kantor Kecamatan tentang pengurusan KTP.

Tim penulis berangkat pagi-pagi ke kantor Imigrasi. Malam sebelumnya, teman sekamar penulis sempat berkomentar, “wah, kalau Kantor Imigrasi di Yogyakarta, mah, sudah cukup bersih dan rapi, proses dan fisiknya…”. Penulis sempat meragukan asumsi awal adanya praktik korupsi seperti yang umumnya terdapat di instansi pemerintah yang mengurusi administrasi pubik seperti Kantor Imigrasi. Di daerah asal, Jakarta, penulis pernah mengurus paspor, dan Kantor Imigrasi memang sangat semrawut dan berantakan proseduralnya. Sangat padat orang-orang berseliweran dan sangat sulit untuk mendapatkan tuntunan yang jelas bagaimana seharusnya mengurus paspor sesuai peraturan yang ada. Setibanya di kantorpun lagsung banyak ‘calo’ yang menghampiri, menanyakan hendak mengurus apa dan adakah yang bisa dibantu. Bahkan, sepengamatan penulis saat itu, praktik pencaloan seolah telah diformalisasi dengn adanya loket khusus yag melayani pengurusan paspor melalui ‘bantuan pengurusan’.

Asumsi awal investigasi untuk mendapatkan praktik korupsi dan menulusurinya seolah gagal saat tim sampai ke lokasi. Keadaan sangat lengang, kendaraan diparkir dengan rapi, dan di mana-mana, dalam berbagai bentuk, dipampangkan berbagai seruan, produk hukum, dan ancaman yang semuanya mengarah kepada antikorupsi, antipungli, dan anticalo. Saat tim memasuki gedung, lebih jelas lagi di dinding-dinding dipajang berbagai panduan prosedural, produk-produk hukum yang digunakan, hingga nominal yang mesti disiapkan untuk pengurusan. Selain itu semua, terdapat seperangkat touch screen desktop yang berisi segala panduan yang dipajang, dalam bentuk digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun