Setelah perpisahan mereka, Elysia merasa hidupnya terhenti sejenak. Dunia terasa berjalan lambat, seolah setiap langkahnya dipenuhi dengan kehampaan yang tak bisa dihindari. Ia merasa begitu terlepas dari segala hal yang pernah berarti baginya. Riven, pria yang dulu penuh dengan harapan dan Impian, sekarang hanya meninggalkan bayangan kosong. Setiap pagi yang ia jalani terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya yang tidak dapat digantikan oleh apa pun.
Di tengah kesibukan sehari-hari, Elysia mencoba untuk tetap bertahan, meski hatinya kosong. Namun, di dalam dirinya, Elysia tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikan perasaan yang ia miliki untuk Riven. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kenangan-kenangan mereka, tertawa bersama, berbicara tentang masa depan, segala impian yang dulu mereka bagi.
Di sisi lain, Riven tidak jauh berbeda. Meski di luar ia terlihat baik-baik saja, hatinya juga terasa hancur. Perasaan kosong yang datang setelah perpisahan itu menghantui setiap langkahnya. Meskipun ia berusaha menjalani rutinitas, ada rasa kehilangan yang semakin dalam. Dunia yang sebelumnya penuh warna bersama Elysia kini terasa serba suram. Setiap tempat yang ia datangi, setiap sudut yang ia lihat, hanya mengingatkannya pada apa yang telah hilang.
Riven mencoba untuk bertemu dengan teman-temannya, termasuk Darius, sahabat lama yang dulu selalu ada untuknya. Darius sering mengajaknya keluar, berusaha menghiburnya dari kesedihan yang mendalam. Namun, meskipun ia berusaha mengalihkan pikirannya, Riven merasa sepi. Keramaian di sekelilingnya hanya memperburuk perasaan kehilangan yang terus menghantui.
Pagi itu, Elysia memutuskan untuk berjalan ke tempat yang dulu sering mereka kunjungi, kedai kopi yang penuh kenangan indah. Ia tahu, tanpa Riven, tempat itu tidak akan pernah sama. Namun, rasa penasaran dan keinginan untuk mengakhiri segala keraguan membuatnya datang. Tak lama setelah Elysia masuk, Riven muncul, wajahnya terlihat lelah, seperti dia baru saja berperang dengan perasaan sendiri.
Mereka duduk dengan jarak yang lebih jauh dari biasanya, masing-masing terdiam. Ada perasaan aneh di udara, sebuah ketegangan yang tak terucapkan. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya tatapan kosong yang saling bertemu. Riven memandang Elysia dengan mata yang sayu, seolah mencari tahu apa yang harus dikatakan, tetapi kata-kata itu tak kunjung datang.
Setelah beberapa lama, Elysia membuka mulutnya, suara yang keluar begitu pelan namun penuh dengan beban.
"Aku masih merasa kehilangan," ujarnya, suara itu hampir tak terdengar.
"Tapi aku tahu, kita tidak bisa kembali seperti dulu."
Riven hanya mengangguk pelan, matanya penuh penyesalan.