Kathmandu, Kompasiana --- Krisis politik dan sosial besar-besaran mengguncang Nepal. Gelombang protes rakyat yang dipicu keputusan pemerintah memblokir 26 platform media sosial berujung pada kerusuhan mematikan. Data terbaru mencatat setidaknya 22 orang tewas dalam bentrokan, sementara Perdana Menteri dan Presiden Nepal menyatakan mundur dari jabatannya. Situasi semakin mencekam ketika gedung parlemen, rumah-rumah pejabat, hingga kantor Mahkamah Agung dibakar massa. Istri seorang mantan perdana menteri dilaporkan menjadi korban dalam amukan tersebut. Menteri Keuangan Nepal bahkan nyaris kehilangan nyawa setelah dikejar dan diseret massa ke tepi sungai sebelum akhirnya berhasil diselamatkan.Â
Kemarahan publik bermula dari keputusan pemerintah yang memblokir 26 platform media sosial. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya membungkam suara rakyat sekaligus menutupi praktik korupsi, nepotisme, serta gaya hidup mewah pejabat. Mayoritas generasi muda, terutama Gen Z, turun ke jalan menentang kebijakan tersebut. "Media sosial adalah ruang kami untuk bersuara. Jika ditutup, sama saja pemerintah membungkam demokrasi," ujar seorang mahasiswa yang ikut dalam aksi.
 Ledakan amarah berubah menjadi chaos. Bentrokan pecah di berbagai kota besar. Puluhan gedung strategis, termasuk rumah pejabat tinggi, dilalap api. Situasi cepat memburuk hingga aparat kewalahan menghadapi gelombang massa.  Selain krisis politik, Nepal juga menghadapi masalah ekonomi serius. CNBC melaporkan mata uang rupee Nepal anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah. Akibatnya, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, lapangan kerja semakin sempit, dan frustrasi rakyat kian mendalam.
Kondisi ini membuat rakyat menuntut reformasi total mulai dari keadilan ekonomi, pemberantasan korupsi, hingga jaminan masa depan demokrasi. "Kami tidak hanya menuntut perubahan pemimpin, tapi perubahan sistem," ujar seorang aktivis muda. Beberapa saksi menyebut, aksi protes besar di Nepal mendapat inspirasi dari gerakan serupa di Indonesia yang digerakkan anak muda melalui media sosial. Hal ini semakin menegaskan bahwa media sosial kini menjadi alat paling kuat dalam perjuangan melawan ketidakadilan.Â
Dengan kondisi politik yang lumpuh, militer Nepal mengambil alih kendali negara dengan alasan menjaga stabilitas. Namun, langkah ini menimbulkan kekhawatiran baru. "Begitu negara jatuh ke tangan pihak bersenjata, demokrasi bisa berhenti total," ujar seorang pakar politik Asia Selatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI