Mohon tunggu...
Rizkyel Kaendo
Rizkyel Kaendo Mohon Tunggu... Pianist | Music Teacher | Fiction Author

Music has been my passion since I was a kid, but writing (stories) can also bring joyfulness to my life.

Selanjutnya

Tutup

Horor

CERPEN: Enyahlah, Ibu!

21 Juli 2025   00:03 Diperbarui: 21 Juli 2025   00:06 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan yang gelap. (Sumber: pexels.com)

Butuh waktu 24 tahun bagi Yudhi untuk sadar bahwa dirinya seorang pecundang besar.

Setiap hari dia menyaksikan teman-teman semasa kecilnya yang kini sudah sama-sama dewasa, berlalu-lalang di depan rumahnya, sibuk dengan pertaruhan mereka masing-masing dalam arena juang yang bernama 'kehidupan'. Ada yang berangkat sebelum pukul tujuh pagi, karena takut ketinggalan mengikuti upacara bendera tiap Senin pagi di halaman kantor kecamatan. Ada yang memilih melanjutkan kuliah dan tengah kewalahan menghadapi tugas akhir yang harus mereka rampungkan demi menyabet gelar sarjana. Ada pula yang memutuskan berwirausaha---membuka angkringan, menjual minuman keras oplosan, bahkan ada juga yang repot-repot merombak teras rumah mereka untuk dijadikan tempat nongkrong minum kopi bagi para kawula muda.

Semua orang tampak sibuk mengerjakan mimpi mereka masing-masing. Dan setiap kali Yudhi membandingkan dirinya dengan orang-orang itu, dia merasa tak lebih berharga dari sepuntung rokok yang sudah terisap habis; disundut-sundut ke tembok, dijatuhkan ke tanah, dan terinjak-injak oleh orang-orang yang wara-wiri di jalanan.

Alih-alih kuliah atau bekerja, keseharian pemuda bertubuh gempal itu hanyalah bersih-bersih rumah, menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri dan ibunya yang sakit-sakitan, serta menghubungi kakak-kakaknya yang sekarang sudah keenakan merantau ke Ibu Kota perihal kiriman uang bulanan yang suka "macet di jalan". Karena memang mereka berdua hidup dari uang pemberian kakak-kakak Yudhi.

"Mas Yu, kepala Ibu rasanya pusing. Tolong belikan obat di warung depan itu, Mas," pinta ibunya hari itu.

Yudhi yang tengah memotong-motong tempe untuk digoreng sebagai makan siang mereka berdua, bersungut-sungut menanggapi kata-kata ibunya.

"Kenapa tidak cepat mati saja, sih, manusia merepotkan itu? Biar kemalanganku ini lekas berakhir!" keluh Yudhi jengah, ketika ibunya sudah kembali ke kamar untuk berbaring sepanjang hari. "Tak adil benar Tuhan itu. Kakak-kakakku hidup dengan leluasa di Jakarta. Bisa bekerja, bisa menikah, bisa bersenang-senang. Sementara aku? Terjebak bersama nenek-nenek sekarat yang sangat menguras tenagaku setiap detik! Jangankan untuk bermain dengan kawan, rasa-rasanya untuk rebahan semenit saja diriku ini tidak bisa. Pasti si nenek sialan itu akan memintaku membelikan ini, mengambilkan itu, atau membuatkan anu."

Yudhi tetap melakukan segala hal yang diminta ibunya, meski sejak setahun belakangan, dia selalu menggerutu dalam hatinya---lantaran tak pernah ada hari yang santai bagi Yudhi. Saban hari dari pagi hingga petang, selalu ada saja hal yang harus dia lakukan untuk ibunya yang penyakitan. Tak jarang Yudhi menyumpahi ibunya sendiri agar segera mati ketika Yudhi merasa terlalu lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bahkan, karena harapannya itu tak jua dikabulkan, Yudhi juga beberapa kali berharap dirinya sendiri saja yang mati. Karena sudah kepalang benci dengan kehidupannya sebagai seorang pecundang yang ditakdirkan untuk merawat sang ibu yang "hidup segan, mati juga tak mau", entah sampai berapa lama.

Satu-satunya waktu bagi Yudhi untuk rehat dari segala kesibukan rumahnya yang melelahkan adalah pada saat malam.

Malam itu, tatkala Yudhi sedang tidur-tidur ayam di kamarnya sambil mendengarkan lagu dangdut dari radio, dia mendengar suara air kepenuhan dari kamar mandi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun