Kasus-kasus tersebut menimbulkan banyak kegaduhan, serta korban kesehatan mental dan sosial bagi keluarga yang sedang berduka dan banyak masyarakat yang turut berempati. Kegaduhan ini menjadi hambatan sekaligus ancaman tambahan bagi upaya penanggulangan COVID-19 di Indonesia. Fenomena ini harus segera dihentikan sebelum menjadi “infeksi penyakit baru” yang lebih luas dan semakin sulit diberantas.
Bahwa untuk menyikapi terkait penolakan jenazah di berbagai daerah yang ada di Indonesia, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa jenazah yang memiliki status ODP, PDP, maupun positif COVID-19 diperlakukan serupa halnya dengan korban meninggal positif COVID-19. Hal ini dikarenakan hasil tes pasien ODP dan PDP yang sudah meninggal dunia kemungkinan belum keluar sehingga belum bisa ditetapkan negatif COVID-19. Namun, pasien PDP memiki risiko yang lebih besar untuk mendapatkan hasil positif COVID-19. Oleh karena itu, untuk meminimalisir risiko penyebaran virus, jenazah pasien ODP dan PDP diperlakukan sama dengan jenazah pasien positif COVID-19. Perlakuan atas jenazah tersebut sesuai dengan SOP Protokol yang sudah ditetapkan oleh tenaga ahli. Namun, jika ternyata hasil tes pada pasien ODP dan PDP ternyata negatif dan meninggal, pemulasaraan jenazah dilakukan seperti biasanya, tidak sesuai dengan protokol penanganan jenazah COVID-19.
3. Teori Kaidah Fikih/Ushul Fikih Terhadap Penolakan Jenazah Covid-19
Kehati-hatian dalam menyikapi penguburan jenazah Covid-19 harus terukur, sesuai petunjuk ilmu kedokteran sebagaimana telah diterjemahkan secara teknis dalam SOP-nya. Tidak perlu berlebihan. Bahkan bila kehati-hatian itu justru berubah menjadi kekhawatiran tidak berdasar keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan mengarah pada penolakan penguburan secara serampangan, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Berkaitan dengan hal ini Al-Qarafi menjelaskan:
أَنَّ الْخَوْفَ مِنْ غَيْرِ اللهِ مُحَرَّمٌ إنْ كَانَ مَانِعًا مِنْ فِعْلِ وَاجِبٍ أَوْ تَرْكِ مُحَرَّمٍ ، أَوْ كَانَ مِمَّا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِأَنَّهُ سَبَبٌ لِلْخَوْفِ
Artinya, “Sungguh ketakutan dari selain Allah hukumnya haram jika berakibat menghalangi untuk melakukan kewajiban atau meninggalkan keharaman, atau takut dari hal-hal yang secara adatnya tidak dapat menyebabkan ketakutan,” (Lihat Abul Qasim Al-Qarafi, Idrarus Syuruq ‘ala Anwa’il Furuq pada Al-Furuq, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1418 H/1998 M], juz IV, halaman 400).
Dalam kitab Lisan al-Arab, tha’un difahami sebagai wabah yang menjangkit suatu daerah sehingga dapat merusak kondisi lingkungan orang-orang tersebut. Virus corona merupakan wabah tha’un dan jikalau meninggal karenanya maka akan dikategorikan dengan orang yang mati syahid.
Al-Imam al-Nawawi menjelaskan bahwasanya kelima jenis kematian ini dianggap sebagai syahid karena mareka menjalani sakaratul maut dan juga kematian tidak seperti halnya kebanyakan manusia yang lainnya. Siksaan yang mereka lalui itu lebih dari yang lain. Al-Imamm al-Nawawi menjelaskan bahwasanya kelima jenis kematian ini dianggap sebagai syahid karena mareka menjalani sakaratul maut dan juga kematian tidak seperti halnya kebanyakan manusia yang lainnya. Siksaan yang mereka lalui itu lebih dari yang lain. Maka, mereka diberikan gelar sebagai syahid akhirat.
Al-Imam Ibn al-Tin juga menyampaikan pendapat yang hampir sama. Yaitu kematian yang berat ialah penyuci dosa-dosa mereka terdahulu dan Allah mengangkat derajat mereka sebagai syahid.
4. Hadis Pahala Syahid Bagi Korban Covid-19
Mati syahid dalam islam tidak hanya didapat bagi orang-orang yang meninggal dimedan perang saja ketika melawan orang-orang kafir. Namun juga beberapa seperti dalam hadis ini. Hadis pahala syahid bagi mereka yang ditimpa wabah ta’un riwayat (al Bukhari). Namun, ada tiga syarat bagi mereka yang meninggal dapat dikategorikan mati syahid: