Setelah Nara sudah benar-benar naik ke punggungnya, Taeil bangkit dan berjalan menuju lift.
Dua
Mobil Taeil perlahan mendarat di depan gerbang sekolah baru Nara. Taeil mengeluarkan secarik kertas dari saku jasnya.
"Kasih kertas ini ke bu Hayi, staf tata usaha. Nanti, kamu dianter ke kelas sama beliau.", titah Taeil. "Nanti sore tunggu ayah di halte bus yang di depan, ya."
Nara mengangguk. "Oh iya, Yah. Kalo besok aku naik bus aja, gimana? Boleh nggak?"
Taeil mengernyit, "Ngapain naik bus? Ayah masih bisa antar jemput kamu, kok."
"Justru itu, aku nggak mau ngerepotin ayah. Rumah sama kantor ayah jaraknya udah jauh banget, loh. Nanti, ayah telat gegara nganterin aku dan harus selalu pulang duluan buat jemput aku."
Dua minggu yang lalu, saat Taeil pertama kalinya menyebutkan kalau mereka akan pindah rumah, Nara kira ia hanya berpindah dari Distrik Eunpyong ke distrik lain di Seoul. Ternyata, Taeil membawanya pindah ke Daegu, yang berjarak sekitar 237 kilometer dari Seoul. Nara juga mengira kalau ayahnya dipindahtugaskan ke kantor cabang Daegu. Namun saat ia menanyakan hal itu, Taeil bilang kantornya tidak punya kantor cabang. Berarti, kantor Taeil tetap berada di Seoul.
Nara tidak bisa membayangkan Taeil setiap hari harus bolak-balik dari Daegu ke Seoul. Taeil pasti akan menggunakan jalan bebas hambatan, namun kemacetan tetap tidak dapat diprediksi. Bisa-bisa, Taeil yang harusnya menepuh waktu hanya 3 jam, malah jadi lebih lama. Taeil bekerja di sebuah kantor pengacara yang terkenal dengan kedisiplinannya. Kalau Taeil terus-terusan terlambat dan buru-buru pulang, Nara takut Taeil bisa dipecat.
Taeil hanya tertegun mendengar permintaan Nara. Ia tersadar saat Nara mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya.
"Ayah kok malah ngelamun? Boleh nggak, nih?"
Taeil terdiam. "Yakin kamu bisa pulang sendiri?"