Indonesia tengah mengalami perubahan signifikan dalam struktur pendidikan setelah Bapak Presiden Prabowo Subianto memisahkan kementerian terkait menjadi tiga bagian yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Kebudayaan. Langkah ini membawa harapan, tantangan, dan pertanyaan besar: apakah reformasi ini akan benar-benar memperbaiki atau hanya menambah lapisan kompleksitas yang sulit dikelola?
Tujuan dari Restrukturisasi
Pembagian ini didorong oleh ambisi untuk menangani tantangan pendidikan dengan lebih fokus terhadap setiap bidangnya. Misalnya seperti Pendidikan Dasar dan Menengah yang memiliki masalah terkait kesenjangan akses dan kualitas antara wilayah perkotaan, pedesaan, hingga di pelosok negeri. Dipimpin oleh Abdul Mu'ti, tokoh Muhammadiyah yang memahami permasalahan pendidikan akar rumput, kementerian ini diharapkan mampu membuat kebijakan yang berakar pada kebutuhan nyata siswa dan guru. Sementara itu, Fadli Zon memimpin Kementerian Kebudayaan dengan mandat memajukan dan melestarikan warisan budaya yang sering kali terabaikan dalam arus modernisasi.
Kementerian Pendidikan Tinggi, di bawah pimpinan Satryo Soemantri Brodjonegoro, memiliki fokus yang berbeda, yaitu memajukan penelitian, teknologi, dan inovasi. Latar belakangnya sebagai mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi memberikan fondasi kuat untuk menghadapi tantangan globalisasi pendidikan dan integrasi teknologi modern. Dengan dua wakil menteri, Stella Christie dan Fauzan, diharapkan dapat memperbaiki sistem pendidikan tinggi agar berkualitas dan sesuai dengan tantangan zaman.
Tantangan Kompleks yang Mengintai
Namun, reformasi ini bukan tanpa risiko. Tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan koordinasi antar-kementerian tetap solid dan terhindar dari tumpang tindih kebijakan. Apabila terjadi perubahan kurikulum baru, perlu adanya proses adaptasi dalam menghadapi hambatan dari aspek birokrasi dan sumber daya manusia. Pada kurikulum merdeka, adaptasi menjadi permasalahan yang besar karena perbedaan yang signifikan dari kurikulum yang sebelumnya. Kurangnya adaptasi sumber daya manusia juga membuat hasil menjadi relatif berbeda. Banyak dampak negatif yang muncul akibat dari Kurikulum Merdeka. Misalnya seperti kurangnya motivasi belajar siswa karena tidak adanya sistem tinggal kelas yang membuat pengetahuan siswa menjadi terbatas.
Salah satu masalah utama dalam pemisahan kementrian pendidikan adalah anggaran. Pemisahan ini mungkin memerlukan lebih banyak biaya operasional dan pendanaan tambahan untuk memulai program baru. Selain itu, mengingat kompleksitas dan tuntutan peran yang berbeda di tiga kementerian baru, diperlukan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten untuk mengisi posisi tersebut.
Harapan dan Optimisme
Masyarakat berharap pemisahan kementerian ini memungkinkan pendekatan yang lebih spesifik dan terarah. Pendidikan dasar yang lebih berkualitas dan merata, inovasi teknologi yang lebih kuat di pendidikan tinggi, serta pelestarian budaya yang dijadikan fokus utama adalah harapan utama. Ini juga menjadi ajang untuk meningkatkan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, universitas, dan lembaga budaya.