Mohon tunggu...
riyan fernandes
riyan fernandes Mohon Tunggu... Guru - Peminat Baca

Hobi makan Suka nendang bola suka nulis hal yg kdg gak penting

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Literasi Media Sosial dalam Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan

20 April 2018   16:38 Diperbarui: 20 April 2018   16:51 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Tetra Pak Index 2017 mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia, naik pesat dari tahun 2016 yang mencatatkan sekitar 88,1 juta pengguna internet. Jumlah pengguna internet tersebut berkisar 51 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 262 Juta jiwa.   

Pertumbuhan pengguna internet yang tinggi juga diikuti oleh meningkatnya pengguna media sosial. Tetra Pax Index pada tahun 2017 juga mengungkap, ada lebih dari 106 juta orang Indonesia menggunakan media sosial setiap bulannya. Dimana 85% diantaranya mengakses media sosial melalui perangkat seluler. Sementara, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 mengungkapkan pengguna media sosial yang paling tinggi adalah usia antara 35-44 Tahun sebanyak 38.7 juta jiwa, kemudian rentang usia 25-34 tahun sebanyak 32,3 juta, diikuti rentang usia 10-24 tahun sebanyak 24,4 juta jiwa seterusnya usia 45-54 tahun sebanyak 23,8 juta jiwa dan yang terendah adalah rentang usia 55 tahun ke atas sebanyak 13,2 juta jiwa. 

Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa 1 dari 2 orang di Indonesia hari ini sudah menggunakan internet dan media sosial. Dimana dari jumlah tersebut, pengguna umur usia sekolah (pelajar/mahasiswa) sebanyak 24,4 juta jiwa. Jumlah tersebut penulis yakini akan terus bertambah setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, dan semakin pesatnya perkembangan media sosial, serta kegemaran generasi millennial untuk mengakses media sosial.

Kegemaran generasi muda mengakses media sosial juga dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap anak-anak muda sekarang memiliki gawai yang sudah terhubung dengan internet. Penelitian dari Digital GFK Asia, menyebutkan bahwa perempuan Indonesia setidak nya menghabiskan waktu selama 5,6 jam perhari untuk mengutak-atik layar gawai mereka. Sementara, para pria setidaknya menghabiskan waktu selama 5,4 jam sehari menggunakan gawai mereka. Jika dirata-rata maka orang Indonesia setidaknya menghabiskan waktu selama 5,5 jam sehari untuk mengakses internet dan media sosial.

Keberadaan media sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia ternyata memiliki sisi positif dan negatif. Seperti dikutip dari laman student.cnnindonesia.com, pada sisi positif media sosial bisa digunakan : 1. Sebagai tempat promosi. 2. Ajang memperbanyak teman. 3. Sebagai tempat penyebaran informasi. 4. Sebagai sarana untuk mengembangkan keterampilan dan sosial. Sedangkan pada sisi negatif, media sosial memberikan dampak, 1. Kecanduan. 2. Kejahatan di dunia maya (cyber crime) 3. Pornografi  4. Perjudian.

Dari pengaruh positif dan negatif yang dipaparkan diatas, penulis merasa bahwa pengaruh negatif media sosial lebih banyak menyasar kelompok usia sekolah / pelajar yaitu usia 10-24 tahun. Sebagai kelompok usia dengan rasa ingin tahu yang tinggi, kelompok usia tersebut yang sering disebut generasi zaman now atau anak-anak millennia, sangat akrab dengan media sosial..

Sayangnya, pemahaman menggunakan media sosial yang baik dan benar belum banyak dilakukan, baik oleh orang tua di rumah maupun oleh guru di sekolah-sekolah. Akibat dari hal tersebut banyak siswa usia sekolah yang menerima dampak buruk dari media sosial, seperti kecanduan. Tangan mereka "seakan-akan" tidak pernah bisa lepas dari gawai masing-masing.

Akibat kecanduan tersebut, maka akan muncul pengaruh negatif media sosial lainnya seperti cyber crime, pornografi dan perjudian. Berapa banyak kita lihat dan dengar, siswa dan siswi usia sekolah melakukan pose-pose yang tidak pantas dan kemudian memajangnya di akun media sosial mereka. Atau siswi usia sekolah menjual dirinya melalu media sosial, dan pembelinya adalah seorang mahasiswa. Hal itu salah satunya disebabkan karena tidak adanya filter di media sosial, sesuatu yang viral dibelahan bumi manapun dalam hitungan menit sudah bisa dilihat dan disaksikan melalui gawai masing-masing.

Oleh karenanya, perkembangan teknologi yang kian pesat tidak mungkin untuk dihindari. Media sosial menyajikan segala hal, mulai dari berita hoax hingga budaya, yang kadang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat Indonesia.  Sebuah solusi harus segera dicarikan agar generasi muda mampu menggunakan media sosial untuk hal-hal positif serta mampu memberikan andil dalam kemajuan pendidikan dan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. salah satu langkah yang menurut penulis perlu dan bisa dilakukan agar media sosial bisa bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan kebudayaan generasi muda kita adalah melalui literasi media sosial.    

Apa itu literasi Media Sosial?

Beberapa tahun kebelakang, istilah literasi semakin sering didengar, banyak orang yang masih merasa asing dengan istilah tersebut, walau literasi secara bahasa berarti keberaksaraan, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Dalam bahasa inggris disebut literacy yang salah satu artinya kompetensi atau pengetahuan di bidang khusus. Lebih kompleks, National Institute For Literacy (NIFL) mendefenisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Literasi sekarang sudah digunakan dalam arti yang lebih luas. Setidaknya ada beberapa macam literasi yang sudah dikenal di masyarakat, salah satunya adalah literasi digital. Literasi digital merupakan kemampuan dasar secara teknis untuk menjalankan komputer serta internet, yang ditambah dengan memahami serta mampu berpikir kritis melalui media digital dan bisa merancang konten digital.

 Berangkat dari pengertian literasi dan literasi digital diatas, maka penulis mempunyai keinginan untuk menggerakan Literasi media sosial di lingkungan sekolah. Literasi media sosial jika diartikan merupakan kemampuan siswa dalam membuat akun media sosial, menggunakan, menyaring dan memfilter konten yang ada di media sosial serta memanfaatkan media sosial dalam pengembangan pendidikan dan kebudayaan.

Bagaimana penerapan  literasi Media Sosial?

Penerapan literasi media sosial di sekolah dapat dilakukan melalui Gerakan Literasi Media Sosial. Gerakan literasi media sosial adalah sebuah gerakan yang difasilitasi oleh sekolah melalui guru yang terkait, siswa dan orang tua/wali murid.

            Langkah-langkah penerapan gerakan literasi media sosial jika dijabarkan seperti berikut :

  • Siswa dengan bimbingan Guru TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) membuat akun media sosial masing-masing. Jika sudah memiliki akun, kemudian dibimbing menggunakan fitur-fitur yang ada di media sosial. Guru TIK kemudian membuat daftar akun yang dimiliki oleh siswa dan menjadikannya sebagai database kesiswaan dan memberikannya kepada guru terkait lainnya.
  • Guru Bahasa Indonesia membimbing siswa bagaimana berbahasa yang baik dan benar di media sosial. Salah satu cara yang bisa dilakukan agar siswa berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah dengan memasukkan  penilaian bahasa media sosial  
  • Guru Agama dan Guru BK mengajak siswa menyaring dan memfilter konten media sosial yang tidak sesuai, baik itu berupa berita Hoax dan juga  budaya dan adat istiadat. Kemudian dengan data akun media sosial siswa yang ada, guru Agama dan Guru BK bisa memasukkan penilaian media sosial kedalam format Penilaian. Sehingga diharapkan siswa bisa menjaga kesopanan dan tingkah laku dalam setiap postingan di akun media sosial masing-masing.
  • Orang tua harus ikut memantau media sosial dan gawai anak masing-masing. Dengan melakukan pemantauan, orang tua bisa sinkron dengan program yang dilakukan oleh sekolah. 

Setelah Langkah-langkah penerapan gerakan literasi media sosial diatas dilaksanakan, maka sekolah bisa melakukan langkah selanjutnya dengan mengadakan gerakan pengembangan literasi media sosial. Gerakan pengembangan dilakukan dengan mengajak siswa memposting foto, dokumen ataupun video kegiatan belajar atau kegiatan kreatif yang dilakukan oleh siswa.

Guru seni dan budaya juga bisa mengambil peran, dimana siswa ditugaskan untuk memposting foto, dokumen ataupun video mengenai adat dan kebudayaan daerah masing-masing. Setiap postingan siswa diharuskan menggunakan tanda pagar atau #tagar, misalnya menggunakan tagar sekolah ataupun tagar Kementerian pendidikan dan Kebudayaan. 

Bayangkan, jika seluruh sekolah dan siswa di tanah air, menggunakan akun media sosial masing-masing untuk memposting kegiatan kreatif pendidikan atau postingan budaya dengan menggunakan tanda pagar dan menjadi viral. Maka, bisa dibayangkan betapa mudahnya kita mengembangkan pendidikan dan mengetahui keaneka ragam budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.

Terakhir, harapan penulis, literasi media sosial bisa menjadi salah satu solusi atau wadah tumbuh dan berkembangnya pendidikan dan kebudayaan di zaman millennia ini, yang muaranya adalah meningkatnya kualitas pendidikan dan kelestarian kebudayaan Negara Kesatuan republik Indonesia yang kita cintai bersama ini. Semoga !

 Padang, 19 April 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun