Kesehatan mental adalah hal pertama yang kita abaikan, dan hal terakhir yang kita sadari saat segalanya mulai runtuh.
Dunia yang Terlihat Baik-Baik Saja
Di media sosial, semua orang tampak bahagia. Ada yang berbagi pencapaian, foto liburan, kopi kekinian, atau kata-kata motivasi seperti "stay positive" dan "semua akan indah pada waktunya." Tapi jauh di balik layar, banyak dari kita yang sedang bergulat dengan kesepian, kecemasan, bahkan keputusasaan.
Saya pernah bertanya kepada seorang teman.
"Kamu kelihatan sibuk dan ceria banget di Instagram, tapi kok nggak pernah bales chat?"
Ia menjawab pelan:
"Aku sedang nggak sanggup ngobrol sama siapa-siapa. Aku cuma butuh terlihat baik-baik saja."
Kita hidup di masa ketika tampak bahagia lebih penting daripada sungguh-sungguh bahagia. Dan dalam proses itu, kita mulai berhenti peduli, bukan hanya pada kesehatan mental orang lain, tapi juga milik kita sendiri.
Budaya "Tahan Aja Dulu" yang Diam-diam Berbahaya
Di Indonesia, kita tumbuh dalam budaya yang mengagungkan ketahanan. Menangis dianggap lemah, curhat dianggap manja, dan stres sering dikaitkan dengan kurangnya iman. Inilah akar dari stigma kesehatan mental yang hingga kini sulit dicabut.
"Kamu kenapa sih? Gitu doang kok stres?"
"Kurang bersyukur aja tuh."