Mohon tunggu...
Risscoklat
Risscoklat Mohon Tunggu... Petani - Perempuan.

Menulis adalah cara saya mengingatkan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Memutus Ikatan Nasib

19 Maret 2018   18:18 Diperbarui: 20 Maret 2018   13:03 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tersenyum kecil. Ia masih mengeluhkan dirinya. Hidupnya, porosnya yang membosankan. Uang, uang, dan uang. Sebagai dua manusia yang terlempar di kota orang, kami merasakan awalan buruk. Ia di sana, aku di sini. Jarak tidak berpihak dalam menyatukan kami. Dipisah, sampai rasanya kesedihan baru bisa dibagi seperti sekarang. Membuat agenda bertemu, menyempatkan bertanya kabar, atau barangkali saling mengumpat. Dan ia kali ini mengeluhkan teman sekamarnya yang merepotkan.

Serius?

Mereka dewasa. Harusnya paham akan toleransi antara merepotkan atau membantu. Kita hidup di zaman masa bodoh, tapi setidaknya melihat sekitar agar salah satu tak langsung diperbudak. Maksudku ya, sesama teman jangan bermain menindas.

See? Nuna yang kalah. Nuna yang menjadi bagian belajar mengikhlaskan dirinya sendiri.

Aku menyentuh jemarinya sebagai teman paling mengerti. Menenangkan dia yang hampir membuat dua pelayan mencongkel matanya ketika Nuna menggebrak meja dan menangis histeris. Dia berteriak kalap. Kemudian sadar akan kebodohannya, gadis itu mengelap ingusnya sambil berujar terbata, "Ta, lo tahu kan gue sulung. Beban gue seolah berat. Banyak tanggungan buat adek-adek gue. Belum lagi kerjaan di sini nggak stabil. Gue harus apa, Ta?"

Aku mesem. Menepuk pundaknya keras-keras, "Oh ayolah. Nggak lo doang yang merana gini. Syukur lo masih bisa libur dan syukur gaji lo sekarang udah cukup. Lihat ke bawah Na, pengangguran masih gentayangan ngerusak pemandangan."

Seharusnya karena aku meyakini ikatan kami, aku ikut bangkit dan menata hidupku.

Tapi aku salah. Ikatan kami sebatas perasaan yang begini-begini saja. Pertemanan yang dianggap saling memahami. Kami sama-sama terluka diinjak zaman. Pekerjaan semrawut, masalah teman yang membuat dongkol, belum lagi alasan asmara datang jauh-jauh hari.

"Ta jadi gimana keadan lo?"

Dia bertanya lagi setelah tangisnya mereda. Dengan tawa seadanya aku beringsut ke posisi duduknya. Meletakkan cup di atas meja dan menatapnya sendu.

"Gue kangen lo, Na," jawabku hiperbolis. Kemudian mengacak rambutnya pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun