Ada yang mengatakan bahwa cinta sejati bisa dirasakan dalam hal-hal sederhana: secangkir kopi yang diseduh dengan hati, pelukan hangat di pagi buta, atau bahkan keheningan yang menyimpan ribuan kata. Dan kadang, cinta terbesar justru tersembunyi dalam pengorbanan yang tak pernah diucapkan.
Aku adalah cangkir keramik putih dengan motif bunga kecil di pinggirnya. Sudah dua puluh tiga tahun aku menjadi bagian dari ritual pagi keluarga ini.
Setiap subuh, tangan bu Rat yang hangat akan mengangkatku dari rak, membilasku dengan air dingin, lalu mengisiku dengan kopi hitam pekat, satu sendok gula. Persis seperti yang Pak Mat sukai sejak hari pertama mereka menikah.
Aku tahu semua rahasia keluarga ini. Aku merasakan getaran halus ketika Bu Rat menangis diam-diam sambil menyeduh kopi di pagi-pagi buta, setelah mendengar dokter mengatakan bahwa jantungnya sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Aku merasakan dinginnya air mata yang jatuh ke dalam kopimu, Pak Mat, membuat rasa pahit kopi bercampur dengan kepahitan hidup yang tak pernah kau ketahui.
Dingin Bajawa selalu menusuk tulang di pagi buta, tapi dingin di dada Bu Rat jauh lebih mencekam. Kabut tipis menyelimuti rumah-rumah di bawah kaki Gunung Inerie.
Tapi aku tahu, kabut yang sesungguhnya adalah keheningan Bu Rat tentang penyakitnya, sebuah rahasia yang dibungkusnya rapat-rapat agar tidak ada yang terluka.
***
Sebelas tahun telah berlalu sejak pagi terakhir itu. Kini aku berada di rak yang sama, tapi tidak pernah lagi disentuh. Karena tidak ada yang bisa menyeduh kopi seperti bu Rat, bukan hanya soal takaran, tapi soal cinta yang diaduk bersamaan dengan sendok kayu itu.
Sari, anak sulung yang kini berusia tiga puluh lima tahun, sering menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak tahu bahwa aku menyimpan rahasia terbesar Ibu, rahasia yang bahkan tidak pernah dia ceritakan pada suaminya sendiri.