Mohon tunggu...
ririn ambar
ririn ambar Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Assalamualaikim wr wb perkenalkan nama saya Ibu Ririn Ambarwati saya berprofesi sbg pendidik di salah satu sekolah Menengah Umum di Kudus.hobby saya menulis artikel, lebih utamanya adalah artikel dg tema history dan edukasi.Kepada Kompasiana.com saya memohon ijin untuk dapat membuat dan mengirim tulisan artikel saya sebagai salah satu media atau platform untuk mengembangkan hobby saya.sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan banyak terimakasih.mohon saran dan koreksinya apabila ada kesalahan didalam penulisan saya nanti.terimakasih wassalamualaikim wr wb

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Permasalahan dan Solusi Dalam Pembelajaran Sejarah

4 Januari 2023   16:00 Diperbarui: 4 Januari 2023   16:12 2388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Praktik PPL AKSI 1 Model Pembelajaran PJBL solusi meningkatkan literasi siswa untuk berpikir kritis di Era 4.0/dokpri

Assalamualaikum wr wb Perkenalkan nama saya Ririn Ambarwati, Saya salah satu Mahasiswa  SEJARAH PPG DALJAB Kategori 1 Gelombang 2 UNRI TAHUN 2022 (4 Januari 2023)

Mohon ijinnya untuk menuliskan sebuah artikel terkait dengan problem dan solusi dalam Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan sebuah lembaga pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dilihat dari berbagai persepsi dan perspektif dalam kurun waktu tertentu. 

Pada tataran mikro, pencapaian pembelajaran yang berkualitas merupakan tanggung jawab profesional guru, misalnya dengan menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan ruang dimana siswa mencapai hasil belajar yang maksimal. 

Secara makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggung jawab untuk membentuk tenaga pengajar berkualitas yang dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan intelektual, sikap, dan moral setiap individu siswa sebagai anggota masyarakat

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran baik secara eksternal maupun internal diidentifikasi sebagai berikut. Faktor eksternal adalah guru, materi, model interaksi, media dan teknologi, situasi dan sistem pembelajaran. Masih ada guru yang tidak mengetahui materi, dan siswa menuntut jawaban yang mereka jelaskan dalam penilaiannya. 

Dengan kata lain, siswa tidak diberi kesempatan untuk berpikir kreatif. Guru juga terbatas dalam akses mereka ke informasi baru yang memungkinkan mereka untuk mengetahui perkembangan terbaru di bidangnya (prior art) dan peluang untuk maju melampaui apa yang telah dicapai selama ini (batas pengetahuan). Pada saat yang sama, siswa menemukan bahwa materi pembelajaran terlalu teoritis dan tidak memanfaatkan media yang berbeda secara optimal (Anggara, 2007:100)

Selama proses belajar mengajar, guru tidak menggunakan seluruh potensinya, sehingga sebagian besar siswa tidak dapat memperoleh kompetensi individu yang diperlukan untuk mengikuti kelas lanjutan. Beberapa siswa tidak belajar pada tingkat pemahaman. Siswa tidak mampu menghafal fakta, konsep, prinsip, hukum, teori dan ide-ide inovatif lainnya, mereka tidak mampu menerapkannya secara efektif dalam memecahkan masalah. Di era globalisasi ini, pengetahuan dan berbagai keterampilan diperlukan untuk memungkinkan siswa menemukan, menafsirkan, mengevaluasi dan menggunakan informasi serta menghasilkan ide-ide kreatif untuk menginformasikan sikap terhadap pengambilan keputusan.

Pelajaran IPS, khususnya sejarah, sering dianggap jelek dan membosankan. Pembelajaran ini dipandang hanya sebagai rangkaian tahun dan rangkaian peristiwa untuk dikenang dan kemudian ditemukan saat menjawab soal-soal ujian. Fakta ini tidak dapat disangkal karena masih terjadi. Pembelajaran sejarah di sekolah terkesan kering dan membosankan. Dari perspektif pedagogi kritis, pembelajaran sejarah seperti itu lebih dipandang sebagai pemenuhan keinginan kelompok dominan seperti penguasa pemerintahan, kelompok elit, pengembang kurikulum, dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa sebagai agen sejarahnya sendiri. Era (Anggara, 2007:101)

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan sejarah memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Klaim ini mungkin tidak berlebihan. Namun keberhasilannya sampai saat ini masih dipertanyakan, mengingat keberadaan fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda, semakin dipertanyakan. Dengan kenyataan tersebut berarti ada sesuatu dalam pelaksanaan pendidikan sejarah yang harus dibenahi (Alfian, 2007:1)

MASALAH CERITA DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Beberapa pendidik dan sejarawan sejarah telah mengomentari fenomena pembelajaran sejarah di Indonesia, antara lain masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku ajar, profesionalisme guru sejarah, dll.

Yang pertama adalah permasalahan pada model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan dalam Alfian (2007), pembelajaran sejarah pada realitas masa kini jauh dari keinginan anak untuk melihat maknanya bagi kehidupan masa kini dan masa depan. Sejak SD hingga SMA, pembelajaran sejarah biasanya hanya menggunakan fakta sejarah sebagai materi utamanya. Tidak heran bila pelajaran sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah.

Taufik Abdullah menilai strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pengajaran sejarah di sekolah masih menitikberatkan pada pendekatan kronik dan biasanya memaksa anak untuk mengingat peristiwa tersebut (Abdullah Alfianissa, 2007:2). Siswa belum terbiasa menginterpretasikan peristiwa untuk memahami dinamika perubahan.

Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan memang tidak terlepas dari pengaruh budaya yang mengakar. Sangat sulit untuk mengubah model pembelajaran satu arah dimana guru sebagai sumber informasi utama untuk proses pembelajaran. Pembelajaran sejarah menyebabkan terabaikannya peran siswa sebagai pelaku sejarah pada masanya. 

Pengalaman siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pembelajaran di kelas, sehingga siswa memposisikan diri sebagai peserta pasif dalam pembelajaran sejarah (Martanto, dkk, 2009:10). Dengan kata lain, ketidaktepatan dalam pemilihan strategi pengajaran berakibat fatal bagi tercapainya tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13)

Kedua, masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum merupakan salah satu bagian yang dijadikan acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis yang dilaksanakan dalam proses pendidikan untuk mengembangkan kompetensi peserta didik. Kurikulum memiliki berbagai komponen seperti tujuan, isi dan organisasi isi, proses yang menggambarkan posisi siswa dalam belajar, dan evaluasi hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum seperti rencana tertulis dapat juga memuat sumber belajar dan perangkat pembelajaran, serta evaluasi program kurikulum.

Setelah kemerdekaan Indonesia, beberapa perubahan dilakukan pada kurikulum dan mata pelajaran sejarah dimasukkan. Namun, bahan ajar tersebut sering dikritik oleh masyarakat umum dan oleh para pemerhati sejarah, baik yang berkaitan dengan pemilu, teori pembangunannya maupun implementasinya yang sering digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian, 2007:3).

Ketika Orde Baru berencana menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk mendukung tujuan tersebut. Tentunya kurikulum sekolah dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal Orde Baru kemudian diubah menjadi kurikulum 1975, dan juga dilakukan penyempurnaan pada kurikulum sejarah. 

Demikian seterusnya, dilakukan beberapa kali perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3). Arah kurikulum yang digunakan tidak jelas dan sangat politis, sehingga kurikulum yang digunakan tidak lepas dari kepentingan pemerintahan yang berkuasa. 

Sejarah dijadikan sebagai alat untuk membangun paradigma pemikiran masyarakat tentang perjalanan sejarah suatu bangsa dengan mengagungkan pemerintahan yang kuat. Sistem pembelajaran yang digunakan siswa tidak mengarah pada pemikiran kritis terhadap suatu peristiwa sejarah, sehingga pembelajaran tentang masa lampau terkesan gagal bagi siswa (Anggara, 2007:103).

Selain masalah kurikulum yang terus berubah, masalah yang tidak kalah pentingnya adalah buku pelajaran/buku pelajaran nonfiksi dan sejarah. Menurut Lerissa (dalam Alfia, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak diberlakukannya sistem pendidikan nasional di Indonesia pada tahun 1946. Buku ajar sejarah adalah esai Sejarah Indonesia karya Sanusi Pane (4 jilid). 1943-1944 atas permintaan Jepang, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950. Pada tahun 1957, Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah menengah (3 jilid). Setelah itu, muncul berbagai buku teks Laniya yang ditulis oleh berbagai pihak, terutama para guru, termasuk buku karya Subantardjo.

Pada tahun 1970 para ahli sejarah yang tergabung dalam Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) mengadakan "Seminar Sejarah II" di Yogyakarta dan memutuskan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan universitas, yang dapat dijadikan sebagai sumber buku pelajaran bagi generasi muda. dan di sekolah menengah. 

Buku yang terdiri dari 6 bagian ini tak luput dari masalah dan menimbulkan kontradiksi Tidak semua penulis menggunakan metodologi yang sama dengan pemimpin redaksi Prof. Sartono Kartodirdjo (pendekatan struktural); setiap penulis membawa serta tradisi ilmiah (struktural atau cerita/narasi) yang terkait dengannya. Pada saat itu, perbedaan antara pendekatan struktural dan pendekatan naratif sama sekali tidak dapat diatasi secara metodologis. Masing-masing memiliki domainnya sendiri. 

Konflik yang terus berlanjut ini membuat Sarton mengasihani dirinya sendiri, dan penulis lain mengikutinya. Saat diluncurkan kembali sebagai Pemimpin Redaksi (1983-1984) buku ini hanya menyandang nama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Pada tahun 1993, RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan melakukan revisi, namun karena suatu hal buku tersebut dilaporkan tidak diterbitkan (Purwanto dan Adamo, 2005:105).

Hampir semua buku Open Access, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun yang diterbitkan oleh pemerintah, sebenarnya tidak layak dijadikan referensi. Hampir semua penulis benar-benar membaca dokumen kurikulum dan tidak memahami kurikulum jiwa dengan baik. Mayoritas penulis buku juga tidak memahami sejarah sebagai ilmu, sebagai historiografi, dan jauh dari tulisan kontemporer (Purwanto, 2006: 268)

Masalah profesionalitas guru sejarah juga masih dipertanyakan, hingga saat ini para guru, asurans sekolah memiliki persepsi yang berkembang bahwa dalam pembelajaran sejarah tidak begitu penting memperhatikan hal-hal keprofesian, sehingga tidak jarang para tugas mengajar menjadi sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya guru menyangkal cerita dengan mengulang ceramah tentang isi buku tersebut (Anggara, 2007:102) Pada saat yang sama, terlalu banyak sekolah yang meminggirkan guru sejarah, dan mata pelajaran sejarah hanya sebagai pelengkap. Bahkan banyak ditemukan kasus dimana guru sejarah secara khusus diminta untuk menaikkan nilai siswa agar yang terlibat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak mengikuti penelitian dan penemuan terbaru dalam sejarah Indonesia.Selama ini pembelajaran sejarah di sekolah belum optimal. Kelas sejarah tampaknya sangat mudah dan sederhana. Banyak guru tanpa pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995:143).

SOLUSI MASALAH BELAJAR SEJARAH

Salah satu metode pembelajaran sejarah yang dapat mengubah siswa dan guru aktif menjadi pelatih adalah konstruktivisme, inkuiri, dan pembelajaran kooperatif. Konstruktivisme berarti orang membangun pengetahuan secara bertahap, yang hasilnya ditingkatkan dengan konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104).

Sejarah pembelajaran konstruktivis mengacu pada pembelajaran yang berhubungan dengan masalah sehari-hari siswa. Metode survei juga cocok untuk pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan bukanlah hasil menghafal fakta, melainkan hasil penemuan pribadi. Penggunaan model pembelajaran kooperatif menempatkan guru sebagai fasilitator.

Kurikulum sejarah adalah konsep atau pengaturan yang merencanakan sejarah pendidikan untuk sekelompok anak muda tertentu yang belajar di tingkat pendidikan tertentu. Tujuan lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus dikembangkan bagi peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu, kurikulum pembelajaran sejarah dijabarkan dari segi tujuan, materi/mata pelajaran, metode pembelajaran siswa dan penilai hasil belajar serta sebagai rencana tertulis dan pelaksanaannya. Kemudian evaluasi kurikulum untuk mengetahui berhasil atau tidaknya kurikulum dalam mencapai tujuan (Hasan dalam Nursam, dkk. (eds.), 2008:421).

Untuk mengajarkan sejarah dengan baik dan menarik, guru memiliki keleluasaan dalam mengolah dan mengorganisasikan materi yang ada. Tentu saja, tidak mungkin menyelesaikan mata pelajaran kurikulum dalam waktu yang ditentukan. Oleh karena itu, guru memiliki berbagai bahan ajar yang memungkinkan pembelajaran di luar kelas. Kurikulum yang baik untuk kelas tertentu adalah sesuai, terencana dengan baik, fokus, merangsang pemikiran dan sistematis. Tujuan kurikulum adalah memberikan kesempatan bagi pengembangan mata pelajaran dan siswanya melalui perencanaan yang bijaksana (Hariyono, 1995:172; Kochar, 2008:68).

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 19 Menurut tahun 2005, penyusunan kurikulum sejarah ke depan menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan. Artinya, pengembangan kurikulum sejarah untuk SD, SMP, dan SMA menjadi tanggung jawab masing-masing sekolah. Mengembangkan dan menempatkan sejarah lokal sebagai bagian inti dari kurikulum, terlepas dari apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah atau mata pelajaran lainnya. Peranan materi sejarah lokal dalam kurikulum dipandang penting karena pendidikan harus dimulai dari masyarakat terdekat dan peserta didik itu sendiri harus menjadi anggota masyarakat terdekat tersebut (Hasan, 2007:8-13). Kurikulum sejarah masa depan harus mampu mengembangkan karakter bangsa Indonesia, yaitu (1) semangat yang kuat,

Sedangkan buku ajar harus memiliki kriteria yang baik untuk memecahkan masalah. Menurut Kochar (2008), salah satu kriteria buku cetak yang baik adalah harus bebas dari indoktrinasi. Buku teks harus memberikan gambaran yang memadai tentang berbagai gagasan yang disampaikan dalam tahapan kehidupan tertentu. Buku ini tidak boleh memuat pandangan-pandangan sempit, tidak boleh mengandung terlalu banyak nasionalisme yang cenderung catchy, kaku dan resmi. Buku ini tidak perlu melatih kebiasaan memberikan jawaban spontan, sembrono, penilaian menyakitkan, dan reaksi emosional. Pandangan dan komentar bias penulis tidak boleh digunakan pada halaman cetak. Buku pelajaran yang digunakan siswa harus menceritakan kebenaran yang sebenarnya dan bukan sekedar kebenaran.

Ada bahaya dalam menggunakan buku cetak karena menimbulkan batasan. Siswa cenderung membentuk miskonsepsi bahwa sejarah identik dengan buku cetak. Dan sebagus apa pun sebuah buku, itu tidak cukup untuk membantu siswa belajar. Oleh karena itu, saran alternatif adalah menggunakan buku teks sebagai pendukung dan menawarkan serangkaian buku teks lain, masing-masing menyajikan subjek dari perspektif yang berbeda. Ini meminimalkan kecenderungan untuk hanya mengandalkan buku cetak. Selain itu, siswa mengetahui bagaimana membandingkan dan merekonsiliasi perspektif yang berbeda (Kochar, 2008:175).

Cerita harus ditafsirkan seobjektif mungkin dan dilarang. Ini hanya mungkin jika guru sejarah memiliki kualitas dasar tertentu. Menurut Kochar (2008:393-395) adalah kualitas yang harus dimiliki seorang guru sejarah, penguasaan materi dan penguasaan teknik. Dalam penguasaan materi, guru sejarah harus sempurna secara akademik. Bahkan jika seorang guru sejarah mengajar kelas sekolah dasar, dia harus memiliki setidaknya gelar sarjana yang mengkhususkan diri pada periode sejarah tertentu. Di sekolah atas, guru sejarah juga harus memiliki ilmu sosial dan humaniora selain spesialisasi mata pelajaran mereka. Setiap guru sejarah harus memperluas dan menguasai ilmu-ilmu terkait seperti bahasa modern, sejarah filsafat, sejarah sastra dan geografi. Penguasaan teknik menuntut guru sejarah menguasai berbagai metode dan teknik pembelajaran sejarah. Ia harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menyenangkan agar proses belajar mengajar berjalan dengan cepat dan baik.

Pembinaan dan pengembangan guru harus ditingkatkan untuk menghasilkan guru yang berkualitas dan jumlah guru yang memadai, serta perlu ditingkatkan pembinaan karir dan kesejahteraan sosialnya, termasuk pemberian penghargaan kepada guru berprestasi (Musnir dalam Gunawan (ed.), 1998:129). Oleh karena itu, guru sejarah secara profesional perlu memahami hakikat pengajaran sejarah, tujuan pengajaran sejarah, keterampilan apa yang dapat dikembangkan dalam pengajaran sejarah, nilai-nilai apa saja yang diperlukan dan dapat dikembangkan dalam pengajaran sejarah sebelum guru dapat memutuskannya. tentang metode atau pendekatan yang digunakan (Anggara, 2007:102-103).

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Magdalia. 2007. 'Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi'. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007

Anggar, Boyi. 2007. 'Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah-Masalah Sosial Kontemporer'. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007

Gunawan, Restu (ed). 1998. Simposium Pengajaran Sejarah. Jakarta : Depdikbud

Hariyono. 1995. Dibahas Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya

Hasan, Hamid S. 2007. 'Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi'. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007

Kochar, SK 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta : Grasindo

Martanto, SD, dkk. 2009. 'Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk Meningkatkan Minat Belajar Siswa'. PKM-GT. Semarang. Tidak Dipublikasikan

Nursam, M. dkk (ed). 2008. Sejarah yang Memihak : Mengenang Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta : Ombak

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak

Purwanto, Bambang dan Adam AW. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta. Ombak

Widja, I Gde. 1989. Dasar -- Strategi Pengembangan Dasar Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta : Debdikbud

(* Terimakasih , Wassalamualaikum wr wb)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun