Awalnya, engkau adalah tunas kearifan. Hijau, lembut dan penuh keramahan Membaur dengan belukar dan rumput liar, yang kau ajak tumbuh dalam pagar kebersamaan.
Perlahan engkau tumbuh tinggi, dahan-dahanmu berdaun lebat, menaungi belukar dan rumput liar yang begitu bahagia dengan sejuknya tetes embun yang dengan tulus kau jatuhkan.
Sudah jadi rahasia, engkau, belukar dan rumput liar, menikmati penghujung Ramadhan dan segarnya angin di ujung-ujung  musim. Bangga dan bahagia dengan tingginya adab dan kepedulian.
Tapi, itu masa lalu, cerita indah bertabur keriangan. Sekarang berubah menjadi dongeng dari suara serak di kejauhan. Semuanya berganti gersang, seperti gurun yang kering, serupa ruangan yang tak lagi pernah dikunjungi, menjejal penuh, tumpukan debu ketidakpedulian. Hampa dan menyesakkan.
Dirimu sekarang, serupa pohon tinggi menjulang penuh kepongahan, tapi pada saat bersamaan, batang dan dahanmu kering kerontang. Engkau telanjang, tapi merasa mengenakan baju kebesaran. Engkau terlampau jauh dari belukar dan rumput liar di kerendahan.
Ada saatnya angin kehidupan tak lagi berbisik, ia akan datang mencekik, tiba-tiba membuatmu patah. Ada masanya engkau meninggalkan mayapada. Tapi lihatlah, sekarangpun  Engkau tak lagi hidup, terlanjur mati dengan keringnya nurani, juga lunturnya empati.
Aku mendoakanmu, juga mungkin belukar dan rumput liar, semoga tunasmu kembali tumbuh, membiarkan butir-butir embun menetap di daun-daunmu, menyuburkan kembali kesadaran, bahwa kemegahan sesungguhnya terletak pada dulang-dulang pengertian, pada hati yang saling menebar tatapan, dan pada jiwa sejati yang memenangkan kasih sayang.
Langit Kalimantan, 22 November 2019