Raka Aryasatya membuka matanya. Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar, menciptakan garis-garis keemasan di lantai kayu. Di sampingnya, Livia Maheswari tersenyum lembut, membelai rambutnya sebelum berbisik, "Selamat pagi, Sayang. Sarapan sudah siap."
Hari ini terasa seperti hari-hari sebelumnya. Hangat, damai, dan sempurna.
Ia turun ke ruang makan, di mana meja telah tertata rapi dengan roti panggang yang masih mengepulkan uap, telur setengah matang, dan secangkir kopi hitam dengan sedikit gula, favoritnya sejak dulu. Aroma kopi menyebar di udara, membuat Raka tersenyum samar.
Livia duduk di depannya, mengenakan gaun putih yang sama seperti kemarin, rambutnya disanggul dengan rapi. Ia menyodorkan cangkir kopi ke arahnya. "Aku yakin kopinya pas kali ini."
Raka mengambil cangkir itu, meniup permukaannya sebelum menyeruput. Ia menghela napas lega. "Seperti biasa, ini sempurna. Tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis."
Livia tertawa pelan, matanya berbinar. "Tentu saja. Aku istrimu. Aku tahu persis bagaimana kamu menyukai kopimu."
Raka menatapnya sejenak, lalu mencium tangannya. "Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan."
Livia membalas genggaman tangannya dengan erat, senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
Hari berjalan seperti biasa. Raka pergi bekerja setelah mencium kening Livia dan melangkah keluar rumah. Jalanan yang dilaluinya terasa familiar, seperti sudah ia lihat ratusan kali sebelumnya. Setiap sudut, setiap mobil yang melintas, bahkan wajah orang-orang di sekelilingnya terasa seperti kepingan dari hari yang sama.
Saat pulang, ia mendapati Livia telah menunggunya di meja makan. Seperti biasa, makan malam sudah disiapkan dengan sempurna. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil—cuaca, film yang ingin mereka tonton, rencana akhir pekan. Percakapan mereka mengalir, tetapi Raka mulai menyadari sesuatu.