Padahal bisa jadi orang itu punya motivasi kuat, kemampuan belajar cepat, atau etos kerja yang luar biasa. Terkadang yang dicari bukan yang mau tumbuh bersama, tapi yang sudah jadi.
Tidak semua user memahami bagaimana cara merekrut dengan bijak. Beberapa hanya ingin hasil akhir tanpa memahami proses. Mereka menyerahkan semua pada HRD, lalu protes jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi.
Di sinilah pentingnya komunikasi dua arah. HRD tidak bisa bekerja sendiri. Mereka perlu duduk bersama user, memahami konteks tim, tantangan pekerjaan, dan kultur kerja.
User pun perlu terbuka dan realistis, bukan sekadar menyodorkan wishlist. Karena pada akhirnya, yang akan bekerja bersama kandidat adalah user itu sendiri.
Rekrutmen yang ideal adalah hasil kolaborasi antara HRD dan user. Keduanya harus saling terbuka, saling mendengarkan, dan menyadari bahwa memilih orang bukan sekadar mencocokkan kriteria, tapi juga menilai potensi dan karakter.
Mungkin karyawan hebat bukan selalu mereka yang langsung cocok sejak hari pertama. Kadang mereka adalah orang biasa yang diberi ruang untuk belajar, salah, dan berkembang.
Lebih Realistis dan Manusiawi
Saya tahu, tidak semua HRD dan user seperti itu. Banyak juga yang bijak, terbuka, dan benar-benar ingin memberi kesempatan. Tapi di tengah dunia kerja yang makin kompetitif, sentuhan kemanusiaan kadang tertinggal.
Saya pernah melihat satu perusahaan yang mengirimkan email penolakan dengan pesan personal dan penuh respek. Bukan hanya "kami telah memilih kandidat lain," tapi juga ucapan terima kasih dan semangat untuk pencari kerja.
Sederhana, tapi mengingatkan bahwa di balik sistem dan proses, ada manusia yang sedang berjuang.
Rekrutmen tidak harus selalu sempurna. Tapi ia harus jujur dan manusiawi. Jika HRD dan user bisa duduk bersama, menyusun kebutuhan yang realistis, dan membuka ruang bagi manusia biasa, mungkin perusahaan justru akan menemukan talenta yang lebih loyal dan bertumbuh.
Tidak ada kandidat yang 100% cocok. Yang ada hanyalah orang-orang biasa yang diberi kesempatan luar biasa.