Pekerja UMKM kadang terjebak dalam loyalitas semu. Mereka merasa tidak enak hati menuntut, apalagi kalau sudah dianggap keluarga oleh pemilik usaha.
Padahal, relasi kerja adalah kontrak tak tertulis yang membutuhkan kejelasan hak dan kewajiban. Sementara di sisi lain, pelaku usaha juga kadang terjebak pada asumsi bahwa pekerja harus ikut berkorban demi kelangsungan usaha.
Keduanya tentu sah memiliki harapan. Namun harapan harus diimbangi dengan perhitungan. Saya pernah menyaksikan seorang pemilik warung makan yang, alih-alih menggaji pegawai dengan tetap, tapi malah hanya memberi uang saku harian tanpa kepastian.
Ketika pegawai berhenti, ia bingung kenapa ditinggal. Mungkin karena sejak awal relasi kerja itu tak pernah ditata.
Gaji layak tidak selalu berarti UMR penuh (meski itu idealnya). Dalam konteks UMKM yang masih bertumbuh, ada banyak cara kreatif untuk menghargai pekerja secara manusiawi.
Misalnya dengan memberi insentif dari keuntungan harian, membiayai transportasi, memberikan makan siang, atau memberi hari libur yang fleksibel.
Sebagian pelaku usaha bahkan mulai menerapkan sistem bagi hasil yang disepakati bersama. Meskipun sederhana, hal ini membuat pekerja merasa dihargai dan terlibat dalam pertumbuhan usaha. Jadi bukan sekadar digaji, tetapi juga diajak tumbuh bersama.
Memberi gaji layak bukan hanya soal angka. Ini soal membangun budaya kerja yang sehat dan berkelanjutan.
Pekerja yang digaji dengan adil cenderung lebih loyal, lebih produktif, dan lebih peduli terhadap kemajuan usaha. Sebaliknya, gaji yang asal-asalan hanya akan membuat mereka bekerja setengah hati dan cepat atau lambat, mereka akan pergi.
Mengurai Jalan Tengah
Saya tidak sedang menempatkan pelaku usaha sebagai pihak yang sepenuhnya salah. Tantangan merintis UMKM itu nyata dan berat.
Tapi bukan berarti harus mengorbankan hak dasar pekerja. Jalan tengah bisa dimulai dari keterbukaan. Terbuka soal kondisi usaha, pendapatan, dan rencana ke depan.