Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dua Dinasti, Beda Cara dan Rasa

19 Juli 2020   13:51 Diperbarui: 21 Juli 2020   14:40 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran dan Agus Harimurti disiapkan menjadi calon penerus orang tua mereka. Foto: liputan6.com

Sistem demokrasi yang dijalankan secara murni dapat memunculkan apa saja. Bahwa demokrasi dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat menjelma dan membentuk berbagai kondisi. 

Mendapatkan presiden seperti Donald Trump, ini salah satunya. Bentuk lainnya, sstem dinasti di pemerintahan negara demokratis sangat mungkin terjadi Hal ini bisa disaksikan di Indonesia saat ini, bahkan di negara yang katanya kampiun demokrasi, Amerika Serikat.

Para pimpinan di berbagai daerah diisi orang-orang yang memiliki hubungan keluarga. Pimpinan satu daerah diteruskan oleh anak, istri, ponakan dan setiap orang yang masuk dalam garis keluarga. 

Di Kalimantan Timur, dinasti bahkan menyebar ke wilayah yang tidak seharusnya. Suami menjadi Bupati dan istri menjadi ketua DPRD. Mungkin nikmatnya kekuasaan dan demokrasi tidak murni menggoda mereka untuk mempertahankannya hingga ribuan tahun.

Fenomena dinasti ini masih akan terus marak. Banyak para pemimpin negeri ini yang ingin membangunnya. Megawati dalam trah Soekarno meneruskannya. Seperti ada justifikasi untuk terus membangun dinasti itu. 

Soesilo Bambang Yudhoyono setali tiga uang. Bahkan beliau mem-fait-a-compli anaknya. Agus harus keluar dari militer demi sebuah upaya membangun dinasti. 


Jika waktu terlambat, maka dinasti bisa tidak tercapai. Memang sekarang belum berhasil. Di Jakarta masih gagal. Ingin jadi menteri masih belum diterima. Mau dicalonkan di Jawa Timur, kejauhan dari pusat kekuasaan.

Jokowi ternyata tidak mau ketinggalan kereta juga. Anak dan mantu diberikan ijin untuk menjadi penguasa daerah. Gibran di Solo dan Bobby di Medan. Tentunya, dengan posisi sekarang sebagai presiden, dan tokoh vote getter PDIP, dua tiket itu tidaklah terlalu susah.

Solo tentunya masih tingkat daerah. Medan juga bukan wilayah yang 'elite' dalam percaturan politik tanah air. Tetapi, terlepas dari apa pun itu, membangun dinasti itu dapat diterima di sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini. S

istem yang diterjemahkan dalam konteks kapitalis. Pemilik sumber daya, akan mendapatkan kesempatan yang lebih besar. Sumber daya dapat diartikan dana, popularitas, dukungan dan juga jaringan. Sumber daya yang tidak mungkin dibangun dalam semalam.

Dua Kontras

Di tahap ini, tidak lagi berbicara soal apakah itu baik atau tidak. Tetapi lebih pada bagaimana dua kontras muncul dalam proses membangun dinasti politik dan kekuasaan di negeri ini. Dua kontras pengembangan dinasti cara Cikeas dan Surakarta. Dua cara yang berbeda sama sekali.

Dalam tahapan pembangunan dasar dinasti ini, cara Cikeas cenderung melupakan proses-proses yang dijalani Gatot Kaca di Kawah Candradimuka. 

Cara Cikeas cenderung mendorong calon untuk memasuki jalur hypeloop. Ruang sempit dan kecepatan super tinggi. Cara ini memerlukan sumber daya yang sangat besar untuk menopang sang calon pangeran untuk mendapatkan posisi di rancangan dinasti yang sedang disiapkan. Upaya ini tidak berhasil dalam periode pemerintahan Jokowi ini.

Akan tetapi, dinasti internal pun dibangun. Puncak tertinggi di Partai Demokrat diserahkan ke Agus Harimurti, sang pangeran, dan anak kedua dijadikan pengawal. Jabatan Sekretaris Jenderal disematkan.  

Mungkin karena partai ini dilahirkan sendiri oleh Sang Raja, maka beliau punya hak untuk menyerahkannya kepada siapa pun. Tidak ada proses yang harus dilewati. Karena itu, tidak perlu dalam pandangan Sang Raja. Pragmatis saja, jadinya.

Sementara itu di kontras lain, Jokowi menerapkan cara berbeda. Bahwa menjadi panglima tertinggi itu perlu proses puluhan tahun. Tidak bisa serta merta menjadikan sang pangeran untuk duduk di singgasana. Ada kawah Candradimuka yang disiapkan untuk Gibran Rakabuming.

Jejak yang akan dilewati Gibran persis seperti tapak yang pernah dilewati sang Raja, Joko Widodo. Memulai kehidupan menjadi pengusaha, mengumpulkan modalitas. 

Setidaknya, ketenaran Sang Raja membantu membentuk jaringan. Sumber daya dibangun perlahan dan membuktikan dulu di jalur awal. Jalur bisnis dan menjadi pengusaha. Perkuatan ini mengalami kesuksesan dengan berkembangnya usahanya.

Langkah selanjutnya pun dilakukan. Menjadikan Gibran sebagai walikota Solo. Tidak muluk-muluk dulu. Tidak langsung menembak posisi menteri, meskipun Sang Raja mampu. 

Tidak memposisikan sebagai konglomerat, meskipun sangat memungkinkan. Gibran tidak diberikan keistimewaan seperti pangeran yang lain. Dia harus memulainya dari bawah dan proses yang dijalani itu menjadi penting dalam langkah-langkah selanjutnya.

Kail dan Ikan

Dalam konteks di atas, kita dapat melihat bahwa Jokowi cenderung memberikan kail kepada Gibran. Kail menjadi modal kerja yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan banyak ikan. 

Dengan ikan yang lebih banyak, modal dan kerajaan bisa dikembangkan lebih luas. Kail ini bagian mendorong kreativitas untuk menggunakannya. 

Kali mungkin akan diberikan tali yang lebih panjang. Tangkai yang lebih kuat dapat dipasang. Masa guna dapat lebih lama jika dipakai dengan baik dan benar.

Berbeda dengan klan Cikeas, sang pangeran diberikan ikan. Ikan memang dapat diolah. Tetapi ikan tidak dapat dikembangkan lebih jauh. Sumber daya yang diberikan tidak cukup kuat untuk dapat bertahan dan dikembangkan. 

Agus tidak merasakan proses-proses mendapatkan ikan itu. Ada keringat disana. Ada rasa air tawar atau air laut yang tercicipi. Ada jaringan yang bisa dilihat sendiri. Terdapat banyak langkah-langkah yang harus dilewati.

Agus tidak akan berkeringat. Sementara peluh membasahi kening Gibran menghela tarikan ikan yang memakan umpannya. Agus merasa nyaman dan sepertinya juga semua disiapkan termasuk pidatonya. 

Dia hanya membacakan dan menyampaikan tanpa bermakna. Gibran tidak akan muncul dengan kata-kata dan orasi yang hebat. Dia sama seperti sang Raja dinasti Solo. Raja yang tidak banyak bicara. Raja yang akan bekerja saja.

Melihat pada dua kontras itu, dua-duanya punya kemungkinan yang sama. Dua-duanya akan bisa berhasil menapaki puncak istana. Tetapi, jika kail yang diberikan, ketika menapaki puncak istana, maka sumber daya yang dikerahkan tidak akan banyak. 

Semua sadar, bahwa Gibran mendapatkannya dengan proses yang tidak mudah. Sementara, jika ikan yang diberikan, perlu sumber daya yang besar agar ikan itu tidak segera busuk dan habis dimakan bakteri.

Dinasti-dinasti mungkin akan muncul lagi. Sistem demokrasi memungkinnya. Hanya, ketika menciptakan dinasti, sang pangeran seharusnya diberikan kail, bukan ikan yang cepat busuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun