Penduduk membagi kelompok di masing-masing sisi jalur yang sering dilewati kawanan gajah. Tim penghalau yang terkoordinasi melalui hape, akan menembakkan petasan atau meriam karbit dari paralon ke udara ketika kawanan gajah mendekat ke arahnya. Tujuannya hanya untuk menghalau, bukan melukai atau membunuh.
Namun konflik yang berketerusan itu sangat melelahkan. Terutama bagi para penduduk yang harus berjaga sepanjang waktu, dan karena kawanan gajah harus terus bergerak nomaden demi bisa tetap bertahan hidup bersama kawanannya. Apalagi ketika jalur pakan alaminya dirusak.
Sulitnya Mencari Titik Win-Win Solution
Konflik yang terus berlarut kemudian memunculkan beragam solusi. Salah satunya membuat parit yang membatasi kebun atau ladang dengan hutan. Parit dimaksudkan hanya untuk membatasi ruang gerak kawanan gajah. Tidak untuk menjebak atau membunuh.
Namun solusi itu bukan win-win solution, karena lebih menguntungkan manusia yang tidak lagi repot harus berpatroli mengawal daerah perbatasan kebun dan hutan "milik" gajah. Gajah merasa dicurangi karena jalur pakan alami mereka terputus. Dari hasil temuan di lapangan saat tim melakukan investigasi, gangguan juga masih terus terjadi.
Solusi yang lebih ramah pada satwa, tidak hanya gajah adalah dengan membuat koridor satwa. Utamanya koridor gajah di tempat dimana konflik satwa gajah dan manusia terus terjadi. Koridor menjadi jalan masuk gajah menuju ke jalur pakan alaminya. Sepanjang rute itu tidak diganggu, maka gajah cenderung untuk kooperatif dengan lingkungan barunya.
Dalam skema "Peusangan Elephant Conservation Initiative (PECI)", koridor gajah telah dijalankan, kerangka ini juga akan direplikasi di Lampung.
Mengapa koridor gajah dianggap penting karena habitat terkadang menyusun fragmentasi dan banyak jalur migrasi gajah yang hilang karena kebun, tanaman komersial, atau permukiman. Koridor menghubungkan habitat-habitat yang terpisah, memberikan keamanan ruang gerak untuk satwa.
Sistem lain yang dikembangkan untuk mengatasi konflik adalah penggunaan pagar yang memanfaatkan sarang lebah sebagai penghalau alami karena berdampak positif ganda memberi manfaat tambahan dari madu. Konstruksi sederhana, biaya relatif rendah, bisa dibangun masyarakat.
Namun pilihan yang lebih canggih adalah teknologi sebagai pengawas dan penghalau, meskipun sekali lagi ini bukan solusi win-win solution terutama bagi gajah itu sendiri. Fence fisik non-listrik yang kuat seperti ELEFence di Malaysia, yang tahan terhadap tekanan gajah, punya komponen modular yang memudahkan pemasangan dan pemeliharaan. Lebih aman dan lebih ramah terhadap lingkungan dibanding pagar listrik yang bisa berbahaya bagi satwa atau manusia.
Atau yang menarik seperti dilakukan di Afrika, menggunakan Repellent bau atau zat alami. Uji coba "smelly repellent" dengan bahan lokal seperti cabai, bawang, kotoran hewan dan lainnya, menunjukkan pengurangan serangan terhadap tanaman (raiding) oleh gajah sebesar 82% di banyak lahan di Uganda.
Namun sebenarnya yang harus terus didorong adalah Pemerintah harus melakukan perencanaan spasial dan kebijakan dengan zonasi lahan secara serius disertai "niat baik". Mengatur area mana yang boleh dijadikan kebun atau perkebunan, dan mana yang perlu dibiarkan sebagai jalur satwa dengan dukungan regulasi yang jelas. Tanpa hal itu semua, kerja keras, dan bahkan teknologi mahal rasanya menjadi sia-sia.
referensi: https://geopix.id/2025/03/13/cerita-tentang-datuk-jejak-gajah-yang-kini-terancam/
https://geopix.id/2025/09/11/reactive-statement-tari-dan-masa-depan-gajah-sumatera/