Jika harus membuka pos ronda atau menjalankan Siskamling lagi, rasanya kok jadi ingat jaman konflik.
Dulu setiap malam warga bergantian secara terjadwal menjaga ujung jalan kampung masuk dan keluar. Meskipun bisa menjadi ajang silaturahmi antar warga, tapi ketika itu setiap yang berjaga selalu diliputi rasa was-was. Bukan kuatir ada maling atau aksi pencurian, tapi jika ada baku tembak. Takut karena peluru tak "bermata" bisa menyasar siapa saja.
Â
Ada kalanya tiba-tiba terjadi serangan atau bentrokan bersenjata. Kejadian seperti itulah yang membuat orang berjaga di pos ronda jadi ketakutan. Warga yang berjaga juga jadi serba salah dan bingung karena ronda bersifat wajib dan tidak boleh mangkir. Warga yang tidak hadir ke pos ronda bukan karena alasan sakit atau sedang berada di luar kota akan dijemput ke rumah. Sekedar membayar dengan mengganti dengan uang tidak bisa dibenarkan.
Jadi jangankan membuat pos ronda jadi nyaman, meskipun dipaksa dihias pun warga tetap ogah dan was-was berjaga. Tapi tetap harus dijalani apa pun risikonya kecuali sakit.
Di masa yang lebih awal saat konflik sedang panas, warga wajib jaga, itulah mengapa ketika itu pos ronda jadi rame. Tapi sekarang memang terasa kebutuhannya, apalagi saat tambah maraknya aksi begal dan pencurian.Â
Bukan Hantu yang Bisa Bikin Kocar-Kacir
Dulu menjadi penjaga pos ronda banyak cerita suka dukanya. Bukan cerita horor di datangi hantu, atau tiba-tiba muncul tukang sate yang bisa diorder, "bang seratus tusuk ya." Tapi lebih ke baku tembak yang bisa terjadi kapan saja, dan dimana saja.
Warga yang jaga pos ronda tidak bisa main kucing-kucingan kalau sudah kena jadwal jaga. Patroli keamanan bisa datang kapan saja seperti sidak. Jika ada warga yang namanya masuk daftar jaga tapi tidak berada di tempat bisa kena hukuman.
Pos ronda juga sengaja di pasang di pinggir jalan besar dengan penerangan yang cukup. Untuk antisipasi keamanan biasanya warga sudah bersiap memasang barikade dari batang kelapa, jadi sudah mirip benteng kompi tentara.
Suatu ketika menurut penuturan suami saya, ia pernah berjaga bersama warga lainnya. Suasana malam aman, cuaca sedikit gerimis jadi menurut perkiraan, pasti akan bikin malas orang keluar sehingga tugas jaga malam itu bisa lebih santai. Tapi mungkin para maling justru akan ambil kesempatan, jadi tetap saja penjaga pos ronda harus siaga.
Menjelang tengah malam, saat sebagian penjaga pos ronda bergantian jaga dan tidur, seorang warga yang baru pulang dari kerabatnya yang sakit masuk ke komplek. Suara sepeda motornya yang sedikit rusak membuat suasana sedikit berisik. Begitu petugas ronda memberhentikan kendaraannya, tanpa di duga knalpotnya meletup, mengeluarkan suara keras karena sumbatan saluran bensinnya di penuhi kotoran.
Tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi kemudian. Semua penjaga pos ronda yang tengah tidur lelap, berlompatan dengan gesit ke segala arah, kabur di kegelapan. Termasuk penjaga ronda yang sedang berjaga. Tinggalah si pemilik motor yang kebingungan. Pos ronda malam itu kosong karena tidak satupun penjaga yang berani kembali ke pos.Â
Tapi masa-masa itu semua sudah berlalu, sekarang ini dengan kondisi yang relatif aman (dari gangguan maling), tidak dalam situasi konflik, maka pilihan untuk menghidupkan lagi pos ronda rasanya bisa saja direalisasikan, tapai cara dan polanya diganti.Â