Meskipun yang dibahas itu cuma pengulangan kasus yang itu-itu juga, tapi bagaimanapun itu realitas yang paling sering dihadapi banyak pasangan. Jadi kemunculan video podcast-nya Raditya Dika dan Soimah viral di media sosial rasanya jadi tetap relevan sampai sekarang.
Kesannya sih obrolan ringan tapi giliran kita cari solusinya, minta ampun pusing dibuatnya. Apalagi kalau sudah bicara hati, cinta sehidup semati-bukan satu hidup satu mati ya, plus tambahan drama calon mertua yang rempong dan ketus
Baru saja pasangan mau melanggengkan janji manisnya cinta, sedang sayang-sayangnya, tiba-tiba harus dihadapkan pada kenyataan calon mertua yang toxic, ketus, sulit didekati, malah kadang-kadang merendahkan? Masa iya, kita keturunan darah biru seperti avatar dapatnya pasangan dari keturunan orang biasa-biasa saja. Nah lho!. Lantas apa bisa cinta sehidup semati melawan camer model begituan, memangnya kuat?.
Kalau saya di posisi itu kok ya terasa dilematis sekali ya. Jadi harus bagaimana, kebayang kan sulitnya. Apalagi nemu pasangannya sulit penuh perjuangan, di akhir perjuangan terbentur kehadiran camer- calon mertua tidak ramah.Â
Apa harus putus cari pasangan baru?, masa iya semudah itu kita bisa move on. Tapi memangnya ada solusi yang win-win solution atau kita mengalah saja dan menerima perlakuan buruk bertahan dalam penderitaan seperti kisah-kisah dalam telenovela sambil berharap penderitaan itu ending-nya bahagia. Sangat spekulasi jadinya.
Cinta Melawan Restu
Rasanya memang benar-benar jadi drama jika kenyataannya kita menghadapi persoalan seperti ini. Apalagi dalam budaya kita ketika memilih pasangan itu artinya bukan lagi urusan dua hati. Tapi melebur jadi urusan dua keluarga, baik tradisinya, cara pandangnya, sampai ego yang menyertainya. Maka, dari itulah restu orang tua, si calon mertua masih dianggap sebagai syarat penting dan disana pula drama bisa bermula sebelum samapi ke jenjang rumah tangga.
Memang yang sudah keblinger cinta, ada saja yang menggampangkan karena cara berpikirnya lebih cair. "Aku menikah dengan pasangan, bukan dengan keluarganya, atau yang punya keberanian lebih tinggi bilang, "Mencari pasangan yang cocok itu sulit. Masa harus berhenti hanya karena masalah calon mertua?"Â
Memangnya seberapa kuat sih cinta sehidup semati bisa bertahan jika hubungan dengan calon mertua tidak harmonis? Â Apa bisa pikiran sesederhana seperti di atas tadi sekuat pertahanan mentalnya. Jangan-jangan belum apa-apa sudah bubaran.
Sebenarnya menurut saya disinilah inti dilema yang membelit banyak pasangan yang bersiap menikah. Di satu sisi, ingin mempertahankan cinta yang telah diperjuangkan dengan sepenuh hati. Di sisi lain, juga sadar, hidup bersama orang yang tidak menyukai kita, apalagi orang tua pasangan, bukan untuk waktu sebentar lagi, bukanlah perkara mudah. Kenyataan sosial yang tidak selalu ramah ini juga bisa berbahaya-jadi pangkal keretakan hubungan pasangan bahkan antar dua keluarga besar.
Apa mungkin jika kita bersangka baik saja dulu, kan bisa saja konflik dengan calon mertua sumbernya karena miskomunikasi karena belum kenal sepenuhnya. Bisa saja sifat jelek camer tidak selalu berarti benci. Bisa jadi cara komunikasinya yang berbeda. Ada mertua yang terbiasa bicara lugas tanpa basa-basi, ada pula yang mengekspresikan kasih sayang dengan cara keras.
Jadi bersabar untuk memahami latar belakang calon mertua juga bisa jadi solusi. Bukan juga kita setuju dengan cara-caranya, tapi paling tidak memberi ruang empati, siapa tahu perlahan-lahan akan berubah dari musuh jadi menantu kesayangan.
Kenapa sih camer sering jadi ganjalan? Jika dicermati sebenarnya juga ada alasan sederhana. Misalnya yang paling jelas karena camer dan calon menantu kan beda generasi, beda jaman, bisa beda kesukaan. Jika camer suka kecap merek kuntul, ternyata menantu suka kecap merek blibis. Akhirnya beda cita rasa, beda hati.