Ketika sedang menggunakan moda transportasi massal seperti kereta api--KAI atau Bus TransKutaraja lantas kita ditolong orang, atau menolong orang, sepertinya sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah.Â
Bisa jadi alasan ditolong, mungkin karena ladies first, karena faktor U. Dan ketika menolong pun alasan atau pertimbangan kita juga tidak jauh karena faktor tersebut, selain karena pada dasarnya sikap seperti itu memang sudah ada di hati kecil 'hampir" setiap orang. Mungkin hanya sedikit yang abai untuk bersikap baik seperti itu. Â
Namun saya pernah mengalami sebuah kejadian yang berbeda dan tidak biasa, namun kejadian itu tidak bisa menggeneralisir bagaimana cara kita bersikap dalam kasus lainnya.
Suatu hari ketika sedang naik ke dalam bus TransKutaraja, bersama siswa untuk sebuah kegiatan di perpustakaan wilayah, seseorang yang berkursi roda ikut naik. Kebetulan saya berada di belakangnya, ketika ia sedikit kesulitan dan nyaris tergelincir, saya sigap menolongnya. Di luar dugaan, ia merasa sangat "terganggu". "Maaf saya bisa melakukannya sendiri." Begitu katanya, sambil bersikeras untuk bangkit sendiri.
Saya sempat tidak berkata apa-apa menyikapi kejadian itu. Ternyata sesuatu yang kita anggap kebaikan-pertolongan, act of kindness ternyata bisa dimaknai orang mungkin sebagai "penghinaan, pelecehan atau mengecilkan" kondisinya. Seolah-olah ia berkata bahwa ia tidak perlu bantuan, ia bisa melakukannya sendiri dan ia tidak perlu dikasihani.
Kejadian seperti itu mungkin kasuistis. Ada orang-orang dengan kondisi difabel merasa bahwa ia juga bisa mandiri, ia tidak mau ditolong agar bisa merasakan bagaimana ia bisa mengatasi kesulitan sebagai konsekuensi atas kekurangan yang dialaminya.
Tapi tidak sedikit yang menganggap kebaikan kita itu sebagai bentuk dari act of kindness yang bisa membuatnya merasa diperhatikan, tidak sendirian dan orang peduli pada kondisinya dan ia tidak merasa rendah diri.
Atas kejadian itu, saya sekarang merasa sedikti berhati-hati. Sehingga ketika hendak memberi bantuan pun harus "meminta izin" seperti "boleh saya bantu?", atau "butuh bantuan". Meskipun lagi-lagi pertanyaan itu seolah seperti basa-basi, dan ada yang menganggap kita kurang peduli. Ya jelas lah saya butuh bantuan, kamu tidak lihat bagaimana kondisiku yang kekurangan begini. Begitulah kurang lebih omelan yang tidak terucap tapi terlihat dari sorot mata jika saya "berbasa-basi" kuatir melakukan kesalahan lagi, tapi ternyata kali ini kasusnya pada orang difabel yang memang sangat butuh bantuan atau mengharap bantuan siapapun yang bisa menolongnya.
Peristiwa seperti ini menjadi pengalaman menarik. Bahkan pernah seorang yang memakai penyangga kaki, menolak untuk duduk ketika seorang perempuan memberikan tempat duduknya. Sebagai laki-laki meskipun ia dalam kondisi yang tidak sepenuhnya baik, tapi ia tetap merasa sebagai laki-laki. Entah karena ego atau kebaikan hati yang memang menuntutnya melakukan itu.
Sekali lagi bahwa act of kindness kadangkala juga butuh kecermatan khusus. Lain halnya kalau kasusnya ibu hamil, perempuan atau laki-laki renta atau berusia lanjut, atau orang dengan kondisi lemah karena sakit.
Difabel dan Mentalitas