Meskipun tidak pernah mengalaminya secara langsung, tapi mendengar kabar burung dan selentingan berita hingga gosip sudah biasa, katanya jika ber-joint bisnis sering kali bisa membawa petaka. Maksud saya, jika awalnya berbisnis dengan saudara atau teman karib semuanya baik-baik saja, karena satu dan lain halnya akhirnya berubah menjadi saingan, bahkan jadi musuh.
Seolah bisnis bisa jadi pembuka tabir siapa kita dan siapa orang yang selama ini kita anggap teman atau sahabat. Intinya karena sudah berurusan dengan cuan, persoalannya bukan soal sedikit  atau banyak. Tapi lebih pada bisa dipercaya atau tidak si mitra bisnis kita.
Tapi sebenarnya itu juga sangat relatif dan bersifat kasuistis. Artinya ya tidak semua joint bisnis atau ketika kita berpartner bisnis akan berakhir duka lara. Seperti ditinggal orang yang kita cinta.
Banyak pembelajarannya yang bisa kita petik. Syukur-syukur bukan dari pengalaman buruk kita yang bisa menimbulkan traumatis. Belajar dari pengalaman orang lain jauh lebih baik daripada merasakan sakit itu sendiri, sehingga kita berusaha melakukan segala sesuatu lebih terukur.
Bukan lagi hanya cukup dengan kepercayaan. "Ah kita temenan sejak lama, ngapain pakai surat-surat perjanjian segala". Mungkin ada yang mengalami masalah awalnya karena hal itu. Memang ketika belum ada riak dan ombak, semua akan adem ayem. Tapi sekalinya muncul gelombang, bisa langsung ke tenggelam ke ranah hukum.
Maka apa pun ceritanya bermitra bisnis atau joint bisnis tetap membutuhkan hitam putih. Mau dengan saudara atau teman, paling tidak biar rapi secara administrasi dan manajemen.
Semua Ada Aturan Mainnya
Kurang lebih begitulah seharusnya kita memperlakukan kerja sama bisnis kita sekalipun dengan saudara atau teman. Tidak sedikit kasus yang pelik diawali karena rasa percaya saja. Padahal itu tidak cukup. Seperti kata pakar hukum yang jeli---menuliskan perjanjian dengan kata "dan" atau "dan/atau" saja bisa panjang urusannya. Apalagi tanpa surat menyurat. Bisa berabe nantinya.
Sekali lagi persoalannya bukan karena merasa enak dan tidak enak, karena berbisnis dengan saudara atau teman karib, masa harus pakai perjanjian. Seolah bakal akan terjadi masalah. Jika iya syukur kalau ada suratnya, jika tidak di situlah pangkal mula masalah melebar menjadi kasus hingga ke ranah hukum.
Jika tidak, paling-paling bisa dimusyawarahkan dulu sebelum saling ngamuk dan membawa pengacara.
Memang seharusnya berbisnis harus bebas dari rasa kuatir, dalam arti semua yang disepakati bersama tertulis, diketahui dan dipahami. Sehingga ketika terjadi konflik, masing-masing juga akan merasa harus menempuh jalan termudah dulu menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi sebelum memilih jalur hukum.
Aturan yang dibuat memang harus rinci dan detil, apalagi menyangkut tanggungjawab dan kompensasi terkait tanggungjawab tersebut. Misalnya jika salah satunya bekerja lebih banyak porsinya karena harus mengelola usaha, sedangkan yang lainnya hanya setor modal, maka sejak awal perbedaan persentase bagian yang harus diterima juga telah disepakati.
Bahkan jika yang mengelola tidak bekerja sesuai porsi, bagian yang seharusnya lebih besar pun bisa saja disepakati untuk dikurangi sesuai dengan porsi tanggungjawab yang tidak bisa dilaksanakannya.
Dengan cara itu tidak ada satupun yang bisa mengelak karena semuanya sudah tertulis dalam kesepakatan yang secara hukum juga sah, karena dibubuhi materai dan ditandatangani bersama.