Saya sebenarnya tipe yang tidak begitu peduli apakah ketika berkunjung ke sebuah kafe harus ada musiknya atau tidak, tapi sejatinya saya suka musik. Jika ada ya saya nikmati, jika tidak ya saya nikmati saja suasananya. Apalagi jika makanan, minumannya, atau kopinya enak, terasa hommy atau instagramable, jadi ada pengalih perhatian.
Tapi tidak semua orang bersikap seperti saya ketika mengunjungi kafe. Sebagiannya malah berpikir, kafe tanpa musik tidak asyik. Apalagi jika sudah menganggap kafe sebagai bagian dari gaya hidup urban yang bukan sekedar tempat ngopi. Lantas musik pun dianggap sebagai bagian dari "branding experience".Â
Tapi tidak sedikit yang beranggapan musik sebagai "penganggu". Apalagi yang sedang bekerja atau rapat daring. Atau mereka yang butuh "privasi" karena sedang nugas untuk kuliah yang butuh keheningan. Lantas muncul preferensi "kafe hening" atau "co-working caf".
Memang dalam dekade terakhir, sebuah kafe bukan lagi sekadar tempat minum kopi. Di Aceh saja pemilik kafe berlomba memanjakan pengunjung dengan membuat kafe bernuansa retro, minimalis, atau semacam ruang pelesir keluarga. Akhirnya kafe bukan hanya sekadar tempat minum atau kongkow, tapi ia menjelma menjadi ruang gaya hidup.
Di Banda Aceh saja yang dijuluki kota 1000 kedai kopi, kafe hadir sebagai perpanjangan ruang sosial. Di ruang itu orang menjadikannya tempat bekerja jarak jauh, ruang diskusi komunitas, hingga sekadar kongkow atau berswafoto dan membuat konten untuk media sosial. Dalam bentuk seperti itulah lantas musik dianggap menjadi elemen penting dalam membangun identitas.Â
Kafe dengan iringan musik jazz yang memberi kesan elegan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing di daerah, bukan hanya di ibukota saja. Kafe dengan musik pop yang terasa santai, bahkan hingga kafe indie yang lebih memilih memutar lagu-lagu eksperimental untuk membedakan diri dari arus utama juga muncul sebagai alternatif lain.
Artinya kebutuhan orang terhadap kehadiran musik menggambarkan satu hal soal selera, bahwa musik memang penting, tapi tidak selalu mutlak.
Dilema Royalti dan Siasat Baru
Ketika muncul persoalan royalti dari lagu-lagu yang diputar atau dinyanyikan live di kafe-kafe, tentu menjadi dilema tersendiri bagi si pengelola kafe. Di satu sisi ingin memanjakan pengunjung sebagai bagian dari "branding experience", di sisi lain harus memenuhi kewajiban membayar royalti.
Benarkah kafe tanpa musik tetap bisa menarik? Dan bagaimana pemilik kafe menyiasati persoalan royalti musik yang kian ketat? Jika sikonnya sudah begitu?
Apakah musik benar-benar mutlak harus ada di kafe, atau keheningan justru bisa jadi daya tarik baru?
Bagaimanapun harus diakui hak cipta musik di ruang publik dianggap penggunaan komersial. Bagi pemilik kafe, pilihan untuk memutar musik tidak lagi sekadar soal selera. Ada konsekuensi hukum yang mengikutinya. Apalagi sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ditegakkan. Itu berarti, ada kewajiban membayar royalti kepada pencipta lagu atau pemegang hak terkait yang mewakilinya melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Pemilik kafe ada yang bersedia membayar, ada pula yang memilih menghentikan pemutaran musik sama sekali. Bagi sebagian lain, membayar royalti dianggap investasi.Â
Besaran tarifnya masih menjadi diskurus, dengan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Pencipta, dan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Hak Terkait, total Rp 120.000 per kursi per tahun.
Namun bagi kafe yang rerata bagian dari jaringan UMKM masih berharap adanya keringanan atau pembebasan tarif sebagai bentuk dukungan agar usaha kecil tetap berkelanjutan. Alasannya karena pemilik bisnis khawatir royalti ini akan menjadi fixed cost yang memicu kenaikan harga makanan atau minuman --- terutama di saat okupansi tak selalu penuh. JIka belum apa-apa bandrol harga sudah naik, maka upaya menggaet pengunjung pun makin jadi tantangan baru.